Senin, 17 Maret 2014

Short Story : "KEPUTUSAN"



Siang itu matahari memamerkan cahayanya dengan sombong. Ia melukis langit menjadi sangat putih dan menyengat mahluk di bumi dengan gagahnya. Ia berhasil menyindir suasana hatiku yang sudah dua hari ini mendung tak terperi. Tak hanya itu, bahkan kedua pipiku pun tak pernah bisa kering sejak peristiwa ini terjadi. Entah apa yang akan terjadi denganku nanti, dengan masa depanku kelak. Aku tak tahu.
Aku masih menangis. Entah sampai kapan ini akan berhenti. Pikiranku terus melayang, dan tak hentinya teringat akan peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu tersebut. Kecelakaan itu membuatku harus merelakan tubuhku terus terbaring di tempat tidur ini. Aku tak lagi bisa berjalan. Selamanya.
Reno, kekasihku, belum mengetahui hal ini. Dengan alasan berlibur ke kampung nenekku, aku sengaja menghilang dan menutup diri rapat-rapat mengenai kejadian yang aku alami ini, paling tidak utuk satu minggu terakhir.  Aku belum berani melihat reaksinya saat melihatku dalam kondisi seperti ini. Namun aku sadar, cepat atau lambat Reno berhak tahu atas segala yang terjadi padaku.
Tak lama berselang aku terkejut. Lamunanku pecah ketika ada satu sms masuk yang ke handphone-ku. Dari Reno.
* Reno    : Aku ke rumahmu sekarang ya.
* Nina     : Darimana kamu tahu aku udah pulang dari liburan?
* Reno    : Cuma menebak.
* Nina     : Ya, aku tunggu. Ini juga saatnya untuk memberitahumu dan memberimu pilihan.
* Reno    : Maksudnya?
* Nina     : Datang saja dulu. Aku tunggu.
Penantian satu jam-ku terbayar ketika aku mendengar suara motor Reno yang memasuki halaman rumahku. Diantara perbatasan antara bahagia dan kecewa, aku berusaha tegar atas apa yang mungkin nanti akan terjadi, apapun itu. Kutarik selimutku lebih tinggi.
Reno memasuki kamarku dengan membawa senyumnya yang tulus. Ia berjalan ke arahku dan duduk di sampingku, di tepi tempat tidur. Mataku yang sembab tiba-tiba basah kembali. Reno membelai rambutku pelan.
“Gimana kabar kamu? Maksudnya memberi pilihan itu apa?” tanya Reno. Tutur katanya sangat halus.
Aku menarik nafasku dalam-dalam. “Pertama, aku mau minta maaf, aku bohong. Liburan itu gak pernah ada. Aku kecelakaan. Tabrakan mobil yang sangat mengenaskan,” kataku lemah. Air mataku semakin deras mengalir. “Aku gak cukup punya nyali buat ngasih tahu sama kamu.”
Reno menyimak semua ucapanku baik-baik. Aku lihat matanya mulai basah.
“Lalu, pilihan itu?” tanya Reno.
Aku terdiam sejenak. Dengan segenap tenaga yang tersisa, aku mengumpulkan semua keberanian untuk memberitahukan semuanya. Dan pada akhirnya sebuah kemantapan hadir setelah helaan nafasku yang terakhir. Kusibak selimut yang menutupi sebagian tubuhku, hingga akhirnya terkuaklah semua yang selama ini aku tutupi.
Reno terdiam. Ia memandangi tubuhku dari ujung kepala hingga ujung lutut. Ya, ujung lutut. Sekarang aku sudah tak lagi dapat melihat telapak kakiku, mewarnai jari-jarinya dengan kutek berwarna menawan, atau mempercantiknya dengan sepatu yang sesuai dengan trend terbaru. Aku sudak talagi memiliki kaki. Ksedua kakiku diamputasi.
“Kamu gak kaget?” tanyaku. Pertanyaan itu muncul ketika aku melihat mimik wajahnya yang datar.
“Aku udah tahu,” jawab Reno tenang. Sekarang malah aku yang terkejut Aku terkejut sampai ia mulai melanjutkan kalimatnya. “Sejak kamu bilang kamu sedang berlibur, aku tahu itu gak bener. Aku selalu datang ke rumah sakit sejak hari pertama kamu kecelakaan. Aku selalu disamping kamu saat kamu tertidur lelap.”
Keterkejutanku ternyata belum berhenti. Namun aku harus tetap berbuat sesuatu. Keadaan tak menentu ini harus segera diakhiri dengan sebuah jawaban, sebuah keputusan.
“Aku gak perlu menyebutkan opsinya. Aku ingin langsung saja mendengar, apa pilihan kamu?” kataku miris.
“Kamu pasti sudah tahu jawabannya,” kata Reno mantap.
Aku menangis, terisak. Tapi aku sadar dan tahu diri. Reno masih memiliki masa depan yang cerah. Jalannya masih panjang. Ia berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Dan kini, aku hanya bisa berbesar hati jika Reno benar-benar meninggalkanku.
“Maaf, aku harus ninggalin kamu,” katanya. Aku tersenyum kecil, dalam tangisku. “Tapi, simpankan ini sampai aku pulang,” lanjutnya. Telunjuk dan ibu jarinya menjepit sebuah cincin emas dengan satu mata berlian di atasnya. “Aku mau lanjutin study aku ke New York. Dan sepulangnya aku akan melamar kamu.”
Aku terkesiap. Keningku berkerut.
“Sadarkah kamu ngucapin kalimat ini?”
“Sesadar aku ngerasain kamulah yang selalu buat hidup aku berguna,” katanya pelan.
Air mataku kembali mengalir lebih deras. Namun ini tak sama. Perasaan galau yang aku rasakan selama ini, berganti dengan haru dan bahagia yang tak bisa diungkapkan. Aku ingin sekali mengutuk tubuh ini sejelek-jeleknya. Aku telah merasa berdosa telah berprasangka buruk kepada laki-laki yang hatinya bagai malaikat ini. dan ia adalah Reno.
“Tapi dokter udah mengamputasi kaki aku Ren,” ucapku untuk lebih menegaskan agar ia tak memiliki penyesalan di kemudian hari.
“Dokter cuma mengamputasi kaki kamu kan, bukan hati kamu? Dan aku akan tetap berusaha mendampingi kamu sampai Tuhan mengamputasi umurku.”

Rabu, 12 Maret 2014

Cerpen : "AWAS, CINTA!"




AWAS, CINTA!


Pagi-pagi sekali Cheryl sudah berada di depan cermin. Sisir warna birunya dipaksa untuk menjalankan tugasnya dalam merapikan rambutnya yang kurang terawat. Lalu setelah rambut panjang itu ia rasa sudah rapi, matanya memandangi barisan alat make up pemberian sang mama yang terjejer rapi di meja riasnya. Dipandanginya satu-satu alat-alat make up tersebut. Sejenak gadis tomboy itu berpikir.

Buat apa sih mama beliin aku benda-benda kayak ginian? Berfungsi buat apaan juga gue gak tahu? Satu-satunya yang gue tahu cuman satu, Lipstick!

Tak lama setelah berpikir, tiba-tiba tangan Cheryl tergerak untuk mengambil lipstik. Dibukanya tutup benda yang kini ada di tangannya. Dipandanginya lagi benda itu lekat-lekat. Lalu tanpa terkomando siapapun, ujung benda berwarna merah muda itu mulai ia goreskan ke bibirnya yang mungil. Namun tak seperti gadis kebanyakan, Cheryl belum terbiasa dengan benda yang seharusnya bisa membuatnya kelihatan tambah cantik itu. Ia malah membuat bibirnya terlihat tambah besar dan aneh. Itu terjadi karena ia tak menghargai ciptaan Tuhan yang telah memberikan garis pembatas di bibirnya. Ya, Cheryl memakai lipstik tersebut di luar batas bibirnya. Perlahan ia menatap wajahnya di cermin.

“Masya Allah, bibir gue kenapa tuh? Kok jadi dower gini?!” serunya sambil cepat-cepat menghapus lukisan di bibirnya dengan tissue. “Huh, katanya lipstik bisa bikin cewek jadi tambah cantik, tapi buktinya…” kata Cheryl lagi sambil membuang lipstik itu ke keranjang sampah. Cheryl menatap cermin lagi. “Nah…tanpa make up, kayaknya gue kelihatan lebih cantik tuh hehehe…”

Cheryl menyambar tas selempangnya. Lalu digantungkannya di bahu kirinya. Ia pun kembali berkaca. Rambut sudah rapi. Kaos keren. Jeans bagus. Sepatu sport oke. Setelah semua dirasa lengkap, ia pun keluar dari kamarnya dan berjalan cepat menuju meja makan. Disana ia langsung disambut oleh kedua orang tuanya.

“Cheryl, ayo sarapan dulu!” titah sang mama yang sedang mengoles selai kacang ke rotinya.

“Enggak deh ma, aku mau langsung berangkat aja,” jawab Cheryl sambil mencium pipi kanan sang mama.

“Sebelum pergi ke kampus kamu harus sarapan lho,” kata sang mama lagi.

“Hm, enggak ah, Nara udah nungguin tuh di depan…” jawab Cheryl lagi kali ini giliran papanya yang mendapat ciuman di pipinya.

“Nara anak cowok yang rumahnya di perkampungan belakang komplek kita itu? Yang anak si ibu penjual gado-gado itu?” tanya sang mama. Cheryl mengangguk. “Ya udah kalo gak mau sarapan, minum susunya!” titah sang mama semakin menggila. Suaranya pun agak di keraskannya.

“Ma, mama nawarin aku minum susu? Harusnya mama nawarin itu 15 tahun yang lalu…”

“Huh, nih anak kalo dibilangin sama orang tua. Ya udah sekarang kamu mau di anterin sama Mang Uus atau bareng sama papa?” sang mama bertanya kembali.

“Nggak kedua-duanya. Aku mau bareng sama Nara aja naek bus,” jawab sang anak.

“Tapi naek bus itu gak aman lho, juga gak nyaman.”

“Nara bisa buat aku lebih aman dan nyaman naek bus, ketimbang dianterin Mang Uus atau naek mobil papa yang ber-AC itu,” jawab Cheryl sembari berjalan menjauhi mereka. “Udah ah, kasian Nara kelamaan nunggu. Dah ma, pa!” Cheryl pun lenyap daripandangan mereka.

Sang mama melirik suaminya.

“Anak kamu tuh!” seru mama.

“Ya anak kamu juga, kita kan bikinnya berdua!”

***

“Dua menit…”

“Iya gue tahu telat dua menit…”

“Lebih tiga puluh dua detik…”

“Iya deh terserah lo! Yang pasti kita mo kemana nih? Sekarang kan masih pagi, kita juga gak ada kuliah, terus?” tanya Cheryl pada Nara. Sesekali hatinya berbicara sendirian, tambah ganteng aja hari ini lo Nar! Dan seharusnya Cheryl tahu bahwa dalam hatinya, Nara lebih sering berkata, kenapa sih kadar kecantikan lo tiap hari harus terus bertambah Cher?

“Gimana kalo kita ke kampusnya gak naek bus? Kita balap lari dari sini sampe kampus?” usul Nara.

“Heh? Jadi lo nyuruh gue bangun pagi-pagi cuman buat balapan lari nyampe kampus?” tanya Cheryl sambil membelalakan matanya.

“Kenapa? Takut?”

“Woeeei, siapa yang takut bos! Oke siapa yang kalah dia harus telanjang di taman kampus!” usul Cheryl.

Nara menganga lebar. “Telanjang?”

“Kenapa? Takut?” kini giliran Cheryl yang menantang.

“Oke! Kita start disini! Bersedia, siap, …” Nara menirukan aba-aba guru olahraganya waktu dia masih SD.
Keduanya pun mencondongkan badannya ke depan sambil sesekali saling berpandangan. “MULAI!!!”

Nara dan Cheryl langsung berlari sekuat tenaga di trotoar. Mereka tak peduli dengan hiruk pikuk yang terjadi disana. Perbedaan gender memang terlihat di sana. Nara berada jauh memimpin di depan Cheryl. Sambil sesekali memandang ke arah belakang, Nara tersenyum puas melihat Cheryl yang tertinggal di belakangnya.

“Siap-siap aja telanjang!” seru Nara sambil tertawa.

Cheryl mulai kelelahan. Nafasnya terengah-engah. Dan tiba-tiba ia terjatuh.

“Aduh!” teriaknya.

Nara yang dengan jelas melihat kejadian itu langsung kaget dan berlari berbalik arah. Ia langsung menghampiri Cheryl dengan wajah cemas.

“Cher, lo gak kenapa-napa?” tanya Nara dengan penuh kekhawatiran.

“Hm, kayaknya tulang gue patah. Tapi yang paling gue khawatirin adalah gelang gue, kayaknya jatoh disana,” terang Cheryl sambil menunjuk jauh ke arah belakang, tempat yang baru saja mereka lalui.

“Gelang? Kok gue gak liat lo pake gelang ya tadi? Tapi ya udah, gue bakal cariin gelang lo,” ucap Nara sambil berjalan ke tempat yang beberapa menit lalu baru saja di laluinya.

Setelah merasa jarak Nara cukup jauh darinya, Cheryl mulai bangkit dari duduknya. Ia berdiri dan kemudian berlari sekencang-kencangnya sambil tertawa puas.

“Nara, mata lo gak salah! Emang sebenernya gue gak pernah pake gelang! Hahaha…” teriak Cheryl yang masih belum mau melepas tawanya. Ia terus berlari sekuat tenaga.
Nara mengarahkan pandangannya ke arah Cheryl. Ia terkejut dengan apa yang telah dilihatnya.

“Sialan lo Cher, mo maen curang ma gue?!” teriak Nara yang langsung menyusul Cheryl.

***

Bangku taman yang sedikit cat-nya sudah mengelupas. Pohon-pohon rindang. Para mahasiswa yang berjalan hilir mudik. Suasana kampus hari itu nampak sama seperti hari-hari sebelumnya. Yang sedikit membuatnya berbeda adalah adanya sepasang pria dan wanita yang nampak kelelahan saat memasuki area kampus. Dengan sabar si pria menggendong si wanita di belakang punggungnya. Si pria pun membawa si wanita duduk di bangku taman.

“Heh…heh…nyesel ngajak lo balapan lari Cher!” ucap Nara di tengah nafasnya yang terengah-engah akibat kelelahan.

“Salah sendiri!” sahut Cheryl. Perlahan ia terdiam. “Sebenernya gue jadi ngerasa bersalah. Udah jelas banget kan gue yang kalah, udah curang tetep aja gue kesusul sama lo. Jadi apa sekarang gue harus telanjang?” tanya Cheryl dengan wajah sedih. “Kalo gue telanjang, apa kata orang tentang harga diri gue?”
Nara tersenyum. “Ya enggak gitu juga kali Cher. Tadi kan kita cuman becandaan doang. Lo gak harus bener-bener ngelakuin itu!” Nara mencoba menenangkan.

“Gue punya prinsip Nar, kalo segala sesuatu itu punya konsekuensi masing-masing jadi mau gak mau gue harus ngelakuin perjanjian kita. Intinya kan di perjanjian ini harus ada yang dihukum di antara kita, jadi kalo gak lo ya berarti gue.”

“Kalo gak lo berarti gue? Oke gini aja, lo gak usah ngelakuin hal itu, biar gue aja gimana?” ucap Nara penuh keyakinan. Ia berusaha untuk menghapus kesedihan sahabatnya itu.

“Elo?” tanya Cheryl. Nara mengangguk. “Disini?” tanya Cheryl lagi. Nara mengangguk lagi. “Ya udah terserah.”

Dengan diawali tarikan nafas yang panjang, Nara mulai membuka kaos putihnya. Ia pun menguatkan mentalnya saat ia sudah bertelanjang dada di tempat seterbuka taman kampus. Kembali ia menarik nafasnya dalam-dalam, saat ia mulai melepas ikat pinggangnya. Namun baru beberapa senti ia menurunkan jeans-nya, Cheryl langsung berteriak.

“Woi, ada orang gila!” sontak semua yang ada di sana langsung mengarahkan pandangannya ke arah Nara. Dan mereka pun serentak menertawainya.
Nara yang kala itu kaget dan panik langsung memelototi Cheryl yang telah mengerjainya untuk yang kedua kalinya. Cheryl yang sudah tahu akan terjadi sesuatu terhadap dirinya, langsung kabur sambil tertawa terbahak-bahak.

“CHERYL!!! KURANG AJAR LO!!!” teriak Nara sambil berusaha mengejar Cheryl dengan bertelanjang dada dan jeans-nya yang dipeganginya karena hampir melorot.

“Dua kosong, Nar!”

***

Kamar tidur. Cheryl merebahkan badannya di bantal yang ia tegakkan di belakang badannya. Tangannya memegang satu novel terjemahan yang saat itu tengah dibacanya. Serius sekali ia ketika itu. Sampai suatu ketika sang mama terduduk di ranjangnya yang ternyata membuatnya terkaget.

“Astagfirullah! Mama! Ngagetin aja,” seru Cheryl yang langsung membalik novel itu dan menaruhnya di ranjang agar halaman yang sedang ia baca tidak tertutup. Sang mama hanya tersenyum. “Ada apa, Ma?”

“Mama cuman mau ngasih tahu ke kamu kalo nanti anak temen papa kamu mau dateng hari ini, dia baru pulang dari New York kemarin,” ucap sang mama.

“Siapa?”

“Andi! Kamu masih inget kan?”

“Lalu?”

“Kamu masih inget kan kalo mama bilang Andi pulang ke Indonesia berarti…”

Cheryl mengerutkan wajahnya. Tampak kemuraman luar biasa ketika itu. “Aku harus cepet-cepet kawin sama dia?”

“Ya gak secepat itu juga Cher. Kalian tunangan dulu lah,” jawab sang mama.

“Tapi tetap aja ma, judulnya itu aku dijodohin sama dia. Kayaknya aku udah bilang sejuta kali deh kalo aku itu gak suka sama Andi. Terserah dia mau lulusan luar negeri kek, orang kaya kek, yang pasti aku gak mau dijodoh-jodohin apalagi aku masih punya…”

“Nara? Siapa sih Nara? Pacar kamu juga bukan.”

“Tapi dia lebih dari itu, dia sahabat aku yang paling bisa ngertiin aku!” Cheryl mengakhiri perdebatannya dengan sang mama. Ia langsung keluar dari kamarnya dan berlari menuju ruang tamu untuk segera keluar dari rumahnya. Sesaat setelah ia berada di halaman rumahnya, satu mobil mewah memasuki area tersebut. Cheryl terdiam sejenak. Ia penasaran siapa orang ada di balik mobil mewah tersebut. Tak lama pintu mobil pun terbuka dan keluarlah Andi. Sedetik setelah melihat satu sosok yang baru saja keluar dari mobil tersebut, wajah Cheryl langsung cemberut dan nampak kesal.

“Hai, Cheryl udah lama kita gak kete…” Andi tak melanjutkan kalimatnya. Karena saat itu Cheryl tak memberi kesempatan kepada Andi untuk menyapanya.

Dengan langkah yang terburu-buru, Cheryl langsung keluar dari halaman rumahnya dan berjalan cepat menuju kampung yang berada di belakang kompleknya. Ia melangkahkan kakinya menuju rumah Nara. Namun sebelum ia benar-benar tiba di rumah Nara, hatinya jengkel saat melihat Nara tengah duduk berdua dengan seorang gadis di sebuah saung yang berada tak jauh dari rumahnya. Cheryl yang awalnya sudah jengkel dengan sikap mamanya tambah jengkel lagi saat ia melihat Nara. Tanpa pikir panjang, ia pun langsung berlari menjauhi rumah Nara dan pergi entah kemana.

***

Pagi itu Cheryl berjalan sendirian menyusuri tangga kampus. Ia berjalan dengan perasaannya yang tak menentu. Sesekali ia memikirkan ucapan mamanya. Namun sesekali juga pikirannya tertuju pada kejadian dimana ia melihat Nara yang tengah duduk berdua dengan seorang gadis kemarin.

Fiuuh…

Cheryl menarik nafasnya dalam-dalam dan membuangnya jauh. Langkahnya terhenti sejenak saat tiba-tiba seseorang langsung merangkulnya dengan erat. Hal itu membuatnya kaget setengah mati.

“HEEEI!!!” suara yang mengagetkan itu.

“Sialan lo! Kaget tau gak? Untung gue punya jantung dua, jadi yang pertama tuh sebenernya udah copot, nah yang masih berfungsi ini jantung cadangan!” jelas Cheryl pada orang yang mengagetkannya yang ternyata adalah Nara.

“Ce ile lebay lo! Udah yo ke kelas bareng!” ajak Nara sambil terus merangkul sang sahabat sambil jalan.

“Nar! Cher!” tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang mereka. Serentak Nara dan Cheryl pun menengok bersamaan sambil menunggu orang yang memanggilnya berlari mendekati mereka.

“Eh, Lia? Ada apa?” tanya Cheryl pada Lia, salah satu teman sekampusnya.

“Enggak, gue cuman mo nanya, apa lo gak ngerasa ada yang kurang dari barang bawaan lo?” tanya Lia yang tangan kanannya terlihat menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya.

Cheryl mengecek beberapa buku yang ada di tangannya. “Oh God! Novel gue mana?”

“Nih! Tadi gue nemuin ini di taman. Gue apal banget tanda tangan lo di halaman pertama buku ini!” ucap Lia sambil menyerahkan buku tersebut kepada Cheryl.

“Wah thanks banget ya Li, untung ada lo. Dan untung juga lo kenalin tanda tangan gue.” Balas Cheryl sambil tersenyum.

“Nanti-nanti namain sekalian ya Cher, biar gak cuman gue aja yang bisa ngenalin tanda tangan lo!” saran Lia. Tak lama Lia menatap heran pada Nara dan Cheryl. Dahinya dikerutkannya dan bibirnya membentuk satu senyuman. “Bentar, kalo gue perhatiin, kayaknya sebagai sahabat kedeketan kalian hebat banget ya?!”

“Iya dong! Kita kan sahabat paling kompak sekampung Rawa Angker, hehehe…”

“Kita juga bakal ngejaga persahabatan ini sebisa mungkin, dan harus bisa!”

“Iya sahabatan sih boleh aja. Tapi awas, cinta! Kesenggol mahluk yang satu itu baru tahu rasa lho kalian! By the way, biar kedeketannya tambah perfect kenapa gak jadian aja sekalian?” tanya Lia kemudian.

Mendengar pertanyaan Lia, Nara dan Cheryl saling berpandangan. “JADIAN???” tanya mereka serempak.

“Wuih, mana mau gue sama alien kayak dia?!” kata Nara sambil mendorong kepala Cheryl dengan tangannya.

“Lo pikir gue mau? Kalo gue alien, berarti lo ET-nya!” sangkal Cheryl.

Lia tersenyum. “Alien? ET? Cocok banget!” katanya sambil berlalu meninggalkan mereka berdua. Nara dan Cheryl tak terlalu mengerti arti dari ucapan Lia tersebut. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan menuju kelas.

“Cher, tau gak sebenernya udah sejak lama gue suka banget sama Lia,” kata Nara tiba-tiba.

“HAH???” Cheryl kaget mendengarnya.

“Wei, biasa aja dong! Ampe kaget gitu?”

“Enggak, bukannya gitu. Tapi…”

“Tapi apa? Intinya gue pengen banget bisa jadi cowoknya dia!”

“Oh…” tak ada respon berarti dari mulut Cheryl.

“Dia tuh cewek yang cantik, bae, lembut, dan…”

“Please deh, bisa gak kita bahas topik laen aja,” pinta Cheryl. Wajahnya terlihat tak bersemangat ketika itu.

“Tapi Cher, omongan gue gak ada yang salah apalagi kalo dibandingin lo…”

“Nar, gue bener-bener marah lo terus ngomongin itu. Apalagi sampe lo ngebanding-bandingin gue sama dia!” tegas Cheryl sambil berlari meninggalkan Nara sendirian.

Nara terdiam di tempatnya. Tak ada raut cemas sedikitpun di wajahnya. Ia malah tersenyum kecil melihat sang sahabatnya yang bersikap demikian.

***

Kuda putih bertanduk itu berlari kencang ke arah Cheryl yang tengah terbaring lemah di antara tumpukan jerami yang terlihat kering. Ia pingsan. Lalu sang pangeran yang ada di atas kuda itupun bergegas turun dan menghampirinya. Ia mengangkat tubuh indah Cheryl dan menggendongnya ke suatu tempat yang lebih nyaman. Sang pangeran meletakkan sang gadis di sebuah tempat tidur empuk yang bertirai warna emas. Tak lama, satu kecupan manis pun mendarat di bibir manis sang gadis. Dan hal itulah yang membuat Cheryl perlahan membuka matanya.

“Nara?” tanya Cheryl pelan saat ia mendapati Nara yang tengah terduduk di kursi di sebelah tempat tidurnya. “Gue kenapa?”

“Lo tadi pingsan di kampus. Darah rendah kali lo!” jawab Nara.

“Terus?” tanya Cheryl lagi.

“Ya elo gue anterin pulang. Gue gendong lo dari kampus ke rumah, naek taksi sih, tapi sempet mampir ke klinik langganan keluarga lo gitu. Untungnya kata dokternya gak papa,” jawab Nara.

“Gendong?”

“Iya!”

“Terus kuda putihnya lo taro mana?”

“Hah? Maksud lo?”

***

“Makasih ya Nar,” ucap mamanya Cheryl. “Kalo gak ada kamu…”

“Kalo gak ada saya, ya pasti banyak orang lah tante yang bakal nolong Cheryl di sana,” Nara memotong ucapan mamanya Cheryl sambil sedikit bercanda.

“Kamu tuh ya, bisa aja!” balas wanita yang masih terlihat cantik itu.
Nara hanya menbalasnya dengan senyuman. Nampaknya Nara sangat cepat sekali membuat mamanya Cheryl merasa akrab dengan dirinya. Tanpa harus berusaha mencari muka atau mengambil hati, ia sangat lihai membuat suasana tampak lebih nyaman. Hampir satu jam mereka mengobrol ngalor ngidul. Dan hampir semuanya tentang Cheryl.

“Hm, tante kayaknya udah sore, saya mau pamit pulang dulu,” ucap Nara seraya bangkit dari duduknya.

“Yah, sayang banget yah. Padahal tante masih pengen ngobrol-ngobrol sama kamu,” ucap mamaya Cheryl.

“Saya bakal sering-sering deh kesini tante,” jawab Nara sambil tersenyum.

“Janji ya!”

Itu sih emang maunya gue bisa sering-sering dateng kesini. Makanya tante, jangan judge books by it’s cover. Dulu aja gue dicuekin, kayak gak ngebolehin gue temenan sama Cheryl. Tapi sekarang malah lebih dari itu. Batin Nara.

“Sebelom pulang, boleh gak saya liat Cheryl dulu tante?” pinta Nara.

“Oh, boleh…”

Nara berjalan ke arah kamar Cheryl lalu memasukinya. Sambil kembali terduduk, ia memandangi wajah cantik Cheryl yang tengah terlelap dengan nyenyak. Sesekali ia memandangi mamanya Cheryl yang saat itu ada di sampingnya.

Cantik banget sih lo Cher! Andai aja lo bukan sahabat gue, udah gue pacarin lo! Dan satu hal lagi, andai aja nyokap lo gak ada di samping gue, udah gue cium lo buat yang kedua kalinya…kayak tadi!

***

Cheryl berdiri di halaman rumahnya. Sudah berkali-kali ia memperbaiki posisi tas selempang warna hijau tua yang tergantung di badannya. Penglihatannya berpetualang ke segala arah. namun ia paling sering melempar pandangannya tersebut ke arah gerbang rumahnya.

“Hai, Cher!” tiba-tiba Nara sudah berada di depan pintu gerbang rumahnya. Ia langsung membuka pintu gerbang tersebut tanpa meminta persetujuan dari sang pemilik rumah terlebih dahulu. Cheryl agak aneh melihatnya.

“Tumben lo berani masuk halaman rumah gue?! Biasanya kan lo udah parno duluan sama sorotan tajem mata nyokap gue?!” kata Cheryl sambil tersenyum. “By the way, anyway, busway kita langsung berangkat aja yuk!” ajak Cheryl yang langsung menggandeng lengan sahabatnya itu. Namun tanpa diduga, Nara menolak gandengan itu.

“Lo kesini mo ngejemput gue kan?”

“Jangan ge-er dulu, Bu! Gue kesini buka buat lo tapi buat nyokap lo!” jawab Nara sambil mengacak-acak rambut Cheryl.

“Hah? Jangan bilang lo punya hubungan spesial sama nyokap gue!” kata Cheryl cemas.

“Ya enggaklah once! Gue cuman mo…”

“Eh, Nara udah lama?” tiba-tiba mamanya Cheryl muncul dari dalam rumah.

“Oh enggak kok tante, saya baru aja dateng. Oia, nih tante gado-gado yang saya janjiin, gratis!” ucap Nara seraya memberikan satu kantong plastik hitam yang berisi dua bungkus gado-gado. “Yang karetnya dua agak pedes tante!”

“Makasih ya Nar!”

“Ya udah deh ma kita mau pamit dulu ke kampus!” seru Cheryl sambil menarik lengan Nara keras-keras.

“Asalamualaikum tante!” teriak Nara yang seolah terseret oleh Cheryl.

Mamanya Cheryl tersenyum. “Wa’alaikum salam! Sering-sering kesini ya, Nar!”

***

“Kok bisa sih nyokap gue jadi bae gitu ke elo?” tanya Cheryl kepada Nara saat mereka tiba di area kantin kampus.

“Jangan tanya ke gue tapi tanya ke nyokap lo!” jawab Nara seadanya. “Eh itu si Lia lagi duduk sendirian, kita temenin yuk!” ajak Nara saat matanya menangkap sosok Lia di meja yang kebetulan kosong.

“Aaaah…males ah!” Cheryl hampir membalikkan tubuhnya saat ia menolak ajakan Nara. Namun bahu Cheryl tak cukup kuat untuk menahan tenaga yang keluar dari sepasang tangan Nara. Dengan terpaksa, Cheryl pun akhirnya menuruti kemauan Nara.

Nara dan Cheryl berjalan mendekati Lia yang tengah menikmati sepotong roti dan segelas espresso. Di sebelahnya, terlihat satu buku tebal yang nampaknya telah menemaninya sejak tadi.

“Hai, Li!” sapa Nara yang langsung duduk di sebelah Lia. Cheryl juga ikut terduduk di sebelah Nara. Jadi posisi Nara saat ini ada di tengah keduanya.

“Hai…” jawab Lia lembut.

“Li, lagi apa? Kok sendirian aja?” tanya Nara yang tak kalah lembut dengan suara Lia tadi.

“Hm…lagi iseng aja baca-baca…”

Nara melirik sebentar ke arah Cheryl yang membuang pandangannya entah kemana. Namun Nara yakin pendengaran Cheryl masih cukup tajam dalam mendengar apa yang ia katakan pada Lia. Sedetik dari itu Nara kembali mengarahkan pandangannya pada Lia.

“Makin hari kayaknya lo makin cantik ya, Li. Jujur aja udah sejak lama banget gue suka sama lo,” kata Nara tanpa ragu-ragu. Cheryl merasa malas sekali mendengar percakapan mereka.

“Oh ya?!” Lia tersenyum manis ke arah Nara. “Kok baru bilang sekarang? Kalo boleh jujur sebenernya gue juga udah lama banget suka sama lo, tapi…”

“Nar sorry ya, kayaknya gue gak bisa lama-lama disini,” potong Cheryl tiba-tiba. Ia langsung bangkit dari duduknya.

Nara menoleh ke arah Cheryl. Ia jadi ikut bangkit dari duduknya. Tangan kanannya menggenggam erat pergelangan tangan kiri Cheryl. “Mo kemana Cher?”

“Terserah gue dong gue mo kemana!” jawabnya singkat.

“Tapi…”

“Lepasin tangan gue!” pinta Cheryl tegas. Tangannya dihentakkannya agar genggaman tangan Nara terlepas dari pergelangan tangannya. Ia berhasil.

“Cher!”

“Lo gak berhak ngelarang-larang gue mo kemana, pacar gue bukan!” kata Cheryl ketus. Ia langsung berlari meninggalkan Nara dan Lia begitu saja.

Selepas kepergian Cheryl, Nara menepuk bahu kiri Lia. “Thanks ya Li, lo udah bantuin gue!” Lia menjawabnya dengan satu anggukan dan satu senyuman. Setelah mendapat jawaban dari Lia, Nara pun langsung berlari mengejar Cheryl.

Cheryl yang tak tahu harus berlari kemana, langsung terduduk di bangku taman yang terletak agak pojok. Pohon besar dan rindang memayungi hatinya yang tengah hujan deras. Di kursi itu pula hujan deras tersebut akhirnya menimbulkan bah kecil di kedua pipinya. Cheryl menangis sejadi-jadinya.

“Cher…” suara lembut seseorang memecah lamunannya. Namun ia tak mau menoleh ke arah suara tersebut karena ia tahu suara tersebut adalah milik Nara.

“Gue pengen sendiri,” kata Cheryl pelan tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya.

“Tapi gue gak pengen lihat lo sendirian. Gue tahu gue salah tapi harus ada yang dilurusin di antara kita. Sebenernya hubungan kita ini tuh apa sih?”

Cheryl tak merespon.

“Oke, gue mo bikin semuanya clear, semuanya, semua tentang kita. Tentang perasaan gue, perasaan lo. Cher, kalo di ujian ada soal ‘siapa orang termunafik di dunia?’ lo boleh nulis nama gue sebagai jawabannya. Karena boleh percaya atau enggak, sebenernya udah sejak lama gue suka sama lo, sayang sama lo, tapi gue gak pernah berani buat ngakuin ini semua ke elo. Gue gak pernah berani buat jujur di depan lo. Jangankan di depan lo, jujur sama gue sendiri aja gue gak bisa. Gue takut Cher, karena gue gak tahu lo punya perasaan yang sama sama gue atau enggak. Tapi setelah gue minta bantuan Lia, nyokap lo, akhirnya sekarang gue dapet jawabannya,” jelas Nara. Cheryl yang cukup terkejut dengan pernyataan Nara.

Cheryl menghapus air matanya dengan kedua tangannya. “Siapa yang suka sama lo?!” ucap Cheryl pelan. Nada manja terdengar di potongan kalimat tersebut.

“Bener? Lo gak suka sama gue?” tanya Nara sambil tersenyum. “Ya udah, kalo gitu gue pergi aja!”

Nara sengaja membalikan badannya dan berjalan pelan meninggalkan Cheryl. Namun tiba-tiba Cheryl bangkit dari duduknya dan langsung memeluk Nara dari belakang.

“Jangan pernah tinggalin gue, Nar! Gue…juga…sayang…sama lo!”

“Sebagai?”

“Terserah!”

“Pacar, boleh?”

“Terserah…!!!”

***

Percakapan Nara dengan mamanya Cheryl saat Cheryl tengah terbaring lemah karena pingsan.
“Makasih ya Nar,” ucap mamanya Cheryl. “Kalo gak ada kamu…”

“Kalo gak ada saya, ya pasti banyak orang lah tante yang bakal nolong Cheryl di sana,” Nara memotong ucapan mamanya Cheryl sambil sedikit bercanda.

“Kamu tuh ya, bisa aja!” balas wanita yang masih terlihat cantik itu.

Nara hanya menbalasnya dengan senyuman.

“Oh iya, maafin tante ya kalo selama ini tante kurang nerima kamu jadi temennya Cheryl. Dulu tante belom kenal kamu sama sekali. Jadi tante kira kamu itu orang yang kurang tepat jadi temennya Cheryl.”

“Gak papa tante, saya ngerti. Ibu saya juga pernah ngelakuin hal kayak gitu ke temen-temen saya waktu saya SD. Yah…namanya juga orang tua…”

“Dan baru kemaren juga tante mau ngedengerin semua cerita tentang kamu dari Cheryl. Banyak banget kisah selama kalian sahabatan yang Cheryl ceritain sama tante. Salah satunya waktu pertama kali kalian kenalan. Suatu hari Cheryl pernah gak ada kerjaan, maen sepeda keliling kampung terus dia nyebur ke empang yang kotor dan bau. Orang pertama yang nolongin dia adalah kamu, sampe-sampe kamu bela-belain ikut nyebur ke empang yang kotor itu, hahaha…”

“Hehehe…iya tante, cara kenalan kita gak ada bagus-bagusnya ya tante. Tapi awal yang buruk bukan berarti jadi suatu keburukan yang kontiniti kan tante.”

“Eh, kata siapa itu awal yang buruk, itu gak buruk sama sekali, tapi lucu!”
Nara jadi ikut tertawa saat ia melihat mamanya Cheryl tertawa mengingat cara perkenalan dirinya dengan Cheryl.

“Oh iya, kamu pernah denger nama Andi keluar dari mulut Cheryl?” tanya mamanya Cheryl tiba-tiba.

“Enggak tante, kenapa? Lagian Andi itu siapa?” tanya Nara.

“Calon suami Cheryl!”

Nara terdiam. Ia terkejut. Seperti ada guntur yang langsung tembus ke jantungnya saat ia mendengar ucapan lawan bicaranya tersebut.

“Eh salah, mantan calon suami,” mamanya Cheryl meralat ucapannya. “Tadinya sih keluarga tante sama keluarganya Andi mau ngejodohin mereka, tapi tante langsung gak suka sama laki-laki yang cengeng. Masa gara-gara Cheryl cuekin dia waktu dia dateng kesini, dia langsung ngadu sama mamanya dan ngerengek-rengek minta perjodohan ini dibatalin?! Ya udah akhirnya semua itu batal!” jelasnya.

“Oh gitu…”

“Maka dari itu, sekarang tante pengen kamu yang jadi calon suaminya Cheryl!” tegas mamanya Cheryl.
Nara terdiam lagi. Ia terkejut lagi. Seperti ada guntur kedua yang langsung tembus ke jantungnya saat ia mendengar ucapan lawan bicaranya tersebut.

“Hm…”

“Asal kamu tahu ya, Cheryl itu udah sejak lama suka sama kamu dan kamu juga sebaliknya kan?!” Nara bengong mendengar ucapan tersebut. “Saran tante sih, coba kamu tes dia. Coba kamu pura-pura mesra sama cewek lain di depan dia dan lihat reaksinya, oke?!” mamanya Cheryl mengacungkan jempolnya ke arah Nara sambil tersenyum.

“Oke tante saya coba. Karena saran tante oke, nanti saya kasih hadiah dua bungkus gado-gado gimana?” ucap Nara yang di sambut baik oleh mamanya Cheryl.

Nampaknya Nara sangat cepat sekali membuat mamanya Cheryl merasa akrab dengan dirinya. Tanpa harus berusaha mencari muka atau mengambil hati, ia sangat lihat membuat suasana tampak lebih nyaman. Hampir satu jam mereka mengobrol ngalor ngidul. Dan hampir semuanya tentang Cheryl.

“Hm, tante kayaknya udah sore, saya mau pamit pulang dulu,” ucap Nara seraya bangkit dari duduknya.

“Yah, sayang banget yah. Padahal tante masih pengen ngobrol-ngobrol sama kamu,” ucap mamaya Cheryl.

“Saya bakal sering-sering deh kesini tante,” jawab Nara sambil tersenyum.

“Janji ya!”

Itu sih emang maunya gue bisa sering-sering dateng kesini. Makanya tante, jangan judge books by it’s cover. Dulu aja gue dicuekin, kayak gak ngebolehin gue temenan sama Cheryl. Tapi sekarang malah lebih dari itu. Batin Nara.

“Sebelom pulang, boleh gak saya liat Cheryl dulu tante?” pinta Nara.

“Oh, boleh…”

Nara berjalan ke arah kamar Cheryl lalu memasukinya. Sambil kembali terduduk, ia memandangi wajah cantik Cheryl yang tengah terlelap dengan nyenyak. Sesekali ia memandangi mamanya Cheryl yang saat itu ada di sampingnya.

Cantik banget sih lo Cher! Andai aja lo bukan sahabat gue, udah gue pacarin lo! Dan satu hal lagi, andai aja nyokap lo gak ada di samping gue, udah gue cium lo buat yang kedua kalinya…kayak tadi!
Tak lama mamanya Cheryl keluar dari kamar. Sehingga hanya tinggal Nara dan Cheryl-lah yang ada di kamar tersebut. Dan untuk yang kedua kalinya Nara memberanikan diri untuk mencium bibir kecil Cheryl.

***

“Jadi…selama gue pingsan, lo nyium gue?” tanya Cheryl memastikan saat ia mendengar cerita Nara barusan.

Nara hanya menjawabnya dengan senyuman nakal.

“Ih…pantesan gue mimpi dicium kodok cacar!”

“Tapi, gak ada kodok cacar seganteng gue, hahaha…”

***

26 Agustus 2008

Follow My Twitter : @herdy126