I
Hate Saturday
Kelas masih nampak sepi. Hanya baru ada
beberapa orang saja yang datang. Di salah satu kursi, Jasco duduk sendiri
sambil memandangi buku-buku pelajaran yang ada di dalam tasnya. Dalam
tatapannya itu tertangkap jelas raut kekesalan atas apa yang sedang dilihatnya.
"Ck..kenapa sih hari Sabtu itu ngumpul 3
pelajaran yang gak gue suka?! Fisika, Sejarah, Bahasa Inggris, kenapa gak
terpisah aja?! Cuma pelajaran Bahasa Indonesia yang sedikit menghibur,"
Jasco menggerutu dalam hati.
Beberapa saat setelah menggerutu, Jasco
mengeluarkan buku catatan Fisika-nya. Dan dibacanya catatan-catatan yang pernah
ditulisnya.
"Tuh kan, gue gak suka banget sama
pelajaran ini. Meski udah gue pelajarin berulang-ulang, gak ada satupun yang
bener-bener bisa gue pahamin," gerutu Jasco sekali lagi.
"Woi, lagi ngapain Co?" tiba-tiba
Doni, sahabat Jasco, sudah ada di sebelahnya.
"Gak liat gue lagi ngapain!" jawab
Jasco tak ramah.
"Wes, nyantai dong men, jutek amat! Lagi
dapet lo ya?!" ledek Doni.
"Sialan lo!" seru Jasco sambil
beranjak keluar dari kelasnya meninggalkan Doni.
***
Selepas jam istirahat berakhir, Jasco
berjalan gontai ke dalam kelasnya. Nampak jelas oleh matanya, hampir semua
teman sekelasnya tengah memegang selembar kertas putih di tangan mereka
masing-masing.
"Co, ulangan Bahasa Indonesia udah
dibagiin lho," ucap Doni sambil memberika kertas ulangan yang telah
ditulisi nama 'Jasco Aditya' kepada pemiliknya. Jasco pun menerimanya dengan
antusias.
Dipandanginya kertas tersebut. "Haa?!
Gila! Masa nilai ulangan Bahasa Indonesia gue 60?! Bahasa Indonesia gitu lho.
Bukannya gue sombong, tapi lo tau sendiri kan gimana antusiasnya gue sama
pelajaran ini? Di kelas ini gue adalah salah satu orang yang nilai ulangan
Bahasa Indonesianya selalu bikin orang pengen liat. Biasanya ulangan Bahasa
Indonesia gue gak kurang dari 80 atau 90, dimana biasanya orang lain cuman bisa
dapet nilai 60. Biasanya gue bisa bikin orang lain kaget pas ngeliat nilai
gue," gerutu Jasco pada sahabatnya. Dengan diikuti Doni, Jasco berjalan ke
mejanya.
"Tapi sekarang juga lo masih bisa bikin
orang laget sama nilai lo itu."
"Ya, lo bener," sambut Jasco lemah.
Di saat yang bersamaan mereka duduk di kursi masing-masing, di meja yang sama.
Perlahan, mata Jasco terarah pada Danar yang
tengah duduk di kursi barisan belakang. Ketika itu objek yang sedang menjadi
sasaran penglihatan Jasco tengah tersenyum manis sambil memandangi kertas putih
yang ada dipegangnya.
"Nilai dia 100. Nilai yang
sempurna," celetuk Doni tiba-tiba. Ternyata Doni memperhatikan tingkah
Jasco sedari tadi. "Saingan terberat lo sekarang nilainya jauh banget
diatas lo."
"Tapi gue harus yakin, Pak Rahmat bakal
pilih gue jadi wakil sekolah ini buat ngikutin acara cerdas cermat di acara
Bulan Bahasa nanti," tegas Jasco penuh keyakinan.
"Eh, Pak Rahmat dateng tuh! Semoga aja
keyakinan lo itu terbukti."
Sesaat setalah menyimpan beberapa bukunya di
meja, Pak Rahmat pun langsung menyapa anak-anak didiknya.
"Selamat siang..."
"Selamat siang, Pak!"
"Kalian sudah menerima hasil tes kalian
kan? Nilai tes Bahasa Indonesia tertinggi di sekolah ada di kelas ini. Maka
dari itu saya dengan beberapa guru Bahasa Indonesia yang lain sudah sepakat
memutuskan bahwa orang yang berhak menjadi wakil sekolah kita untuk mengikuti
cerdas cermat Bulan Bahas adalah Danar!" seru sang pengajar. Sebagian
manusia di kelas itu bertepuk tangan meriah dan sebagian lagi merasa terkejut
saat nama Jasco tidak disebut.
"Tapi Pak, bukannya saya yang selalu
bapak unggulkan di sekolah ini?" tanya Jasco mengeluarkan suara protesnya.
"Tapi nilai kamu anjlok dalam tes ini,
jauh dibawah nilai Danar," jawab Pak Rahmat.
"Tapi kan baru sekali ini saya dapet
nilai segini, Pak."
"Tapi fatal. Soal-soal dalam tes
tersebut mengacu pada prediksi soal-soal yang akan diujikan oleh dewan juri
nanti di cerdas cermat Bulan Bahasa."
"Mungkin saja saat itu saya belum siap
atau agak kurang fokus dan teliti. Lagipula bapak waktu itu adain tes-nya kan
mendadak, jadi benar-benar belum ada persiapan."
"Meskipun tes-nya mendadak dan belum ada
persiapan, buktinya Danar nilai sempurna?! Saya butuh orang yang seperti
itu," jelas Pak Rahmat. Jasco pun langsung mengakhiri debatnya dengan sang
pengajar. Sedikitnya rasa malu mulai menghinggapi tubuhnya.
"Co, udahlah! Mungkin kesempatan lo
bukan sekarang. Lagipula bener kata lo, mungkin aja minggu kemaren tuh lo belom
siap sama ulangan ini," bisik Doni membesarkan hati sahabatnya itu.
Jasco menatap Doni. "Gue baru
inget..."
"Inget apa?"
"Ulangan ini diadainnya minggu kemaren
kan?" tanya Jasco. Doni mengangguk pelan. "Hari Sabtu kan?"
tanya Jasco lagi. Doni pun mengangguk lagi. "Pantes!!!"
***
Jasco berlari menyusuri lorong rumah sakit
dengan masih berseragam sekolah. Hatinya dipenuhi perasaan tak enak yang tidak
menentu. Otaknya dirasuki banyak sekali pikiran-pikiran memuakkan sejak pagi,
mulai dari batalnya ia menjadi wakil sekolah pada Bulan Bahasa hingga kenyataan
yang mengharuskan sang bunda dibawa ke rumah sakit karena kecelakaan mobil.
Setelah berjalan dengan cukup cepat, akhirnya
Jasco tiba di ruang VIP yang telah menampung sang bunda disana. Di ruang
tersebut Jasco mendapati sang bunda yang terbaring lemah di pembaringan dengan
selang infus yang menempel di tangan kirinya. Di samping tempat tidur, Stela,
kakak perempuan Jasco, dengan setia mendampingi sang bunda dari pertama kali
masuk.
"Mama kenapa kak?" tanya Jasco
panik. Ia langsung berlari ke arah ibunya. Air matanya menetes di kedua
pipinya.
"Mama kecelakaan. Mobil mama bertabrakan
sama truk pengangkut barang," jelas sang kakak yang ternyata juga telah
mengalirkan sebuah aliran air kecil di kedua pipinya.
"Kapan?"
"Tadi pagi," jawab Stela,
sambil berusaha menghapus air matanya.
"Kenapa kakak baru ngasih tahu aku
sekarang? Kenapa gak dari pagi?" tanya Jasco agak sedikit berang.
"Kamu kan masih sekolah."
"Buat hal sedarurat ini, kakak masih
mentingin sekolah aku?!" Jasco marah.
"Iya kakak minta maaf..." ucap
Stela pelan.
Jasco memandangi wajah ibunya yang terbaring
lemah. Perban dengan sedikit noda darah dan antiseptic melingkar di kepalanya.
Garis-garis lecet dan selang oksigen pun tak lepas dari pandangan Jasco.
"Ma, ini Jasco ma..." bisik Jasco
pada ibunya. Ketika itu Jasco seperti sedang berbicara pada sebuah patung.
"Co, udahlah biarin mama istirahat.
Meskipun masa kritisnya udah lewat, tapi kata dokter, mama jangan banyak
diganggu," jelas sang kakak.
"Kapan terakhir kali mama siuman?"
tanya Jasco penasaran.
Stela menggeleng.
"Apa?" tanya Jasco bengong dan
kaget. "Jadi mama koma?"
Stela mengangguk.
"Tapi yang penting masa kritisnya udah
lewat," tambah Stela. Jasco sedikit merasa lega.
"Aku nginep disini ya kak," ucap
Jasco. "Biar bisa nemenin kakak."
"Gak usah Co. Lagian nanti juga Arya mau
dateng buat temenin kakak," Stela menolak tawaran Jasco dengan halus.
"Udah, kamu pulang aja istirahat di rumah..."
Jasco mengangguk pelan. Ia merasa lebih lega
lagi saat Stela bilang bahwa Arya, pacar Stela, akan datang dan menemani Stela
malam itu di rumah sakit.
***
Selepas makan malam, Jasco berjalan menuju
kamar sang bunda sambil mengutak-atik handphone-nya.
Di tengah acara pengutak-atikan handphone,
Jasco langsung membanting tubuhnya ke tempat tidur sang bunda sesaat setelah ia
berada disana. Dan di detik yang hampir sama, Jasco langsung menghubungi nomor handphone Doni.
"Halo Don? Don...Don...Doni!" sapa
Jasco pada Doni secara berulang-ulang. Terdengar dengar dengan keras suara
dentuman musik dari seberang sana.
"Halo, Co!"
"Lo lagi dimana sih? Berisik
amat?!" tanya Jasco heran.
"Ajep...ajep...ajep...ajep! Hahaha...gue
lagi hangeout neh ama cewek gue.
Malem Minggu neh!!!" suara Doni terdengar sangat keras.
"Enak ya jadi lo, udah punya cewek.
Sementara gue tiap hari Sabtu gak pernah kemana-mana. Hari Sabtu emang selalu
sadis sama gue. Kayaknya kesialan selalu dateng ke gue tiap hari Sabtu, kenapa
ya Don? Gak cuman masalah cewek aja Don, tapi semua hal," ucap Jasco
semakin lemah.
"Alaaaaah itu kan cuman kebetulan aja.
Semua hari itu diciptain baik tahu sama Tuhan," jawab Doni.
"Don, tahu gak apa yang buat gue bisa
bertahan hidup setiap hari Sabtu?"
"Apa?"
Adanya hari besok!" jawab Jasco.
"Don, asal lo tau sekitar 5 tahun yang lalu bokap-nyokap gue resmi cerai
tepat di hari Sabtu. Laptop kesayangan gue yang didalemnya banyak file-file
penting, ilang dimaling orang juga tepat di hari Sabtu. Bahkan nyokap gue
kecelakaan mobil juga tepat di hari Sabtu," sambung Jasco.
"Co, tapi itu jangan dijadiin patokan
juga kali," jawab Doni berusaha menerangkan. "Bentar-bentar, gue
kurang ngerti sama omongan lo yang terakhir tuh. Kapan nyokap lo pernah
kecelakaan?"
"Tadi pagi!"
"Tadi pagi? Jadi baru tadi pagi?"
tanya Doni kaget. "Kok elo gak ngabarin gue? Hm, besok gue mo nengokin
nyokap lo ya?! Besok gue bakal ke rumah lo dulu, baru kita ke rumah sakit
bareng, oke?!"
"Oke! Udah ya! Having fun aja deh sama cewek lo!"
***
Mobil Jasco bergerak keluar dari gerbang
rumahnya. Ia mengendarai benda transportasi roda empat itu dengan ditemani Doni
di sebelahnya. Seperti yang telah disepakati, mereka berniat mengunjungi ibunya
Jasco di rumah sakit.
"Eh iya, gimana semalem?" tanya
Jasco di tengah pekerjaannya menyetir mobil.
"Oh, semalem seru sih, cuman gue putus
sama cewek gue," jawab Doni santai.
Jasco kaget mendengarnya. "Lho, bukannya
waktu semalem gue telfon elo happy banget kedengerannya?"
"Iya sih, tapi ya mau diapain lagi dong
kalo orang udah bosen?!"
"Haaa...jadi lo mutusin dia cuman
gara-gara lo bosen?" tanya Jasco memastikan.
Doni tersenyum. "Emang kenapa?"
Jasco tak berkomentar. Ia hanya merespon
dengan satu tarikan nafas panjang.
***
Setelah beberapa saat berjalan menyusuri
lorong rumah sakit, Jasco dan Doni tiba di depan sebuah ruangan rawat VIP
tempat ibunya Jasco dirawat. Mereka langsung memasuki ruangan tersebut tanpa
harus berpikir panjang. Rasa keingintahuan yang besarlah yang mendorong mereka
untuk mengetahui keadaan sang pasien, dengan segera.
"Gimana kak?" tanya Jasco lemah
saat ia berada di samping sang bunda. Stela hanya menjawab dengan satu gelengan
kepala yang juga terlihat lemah.
Perlahan Jasco mengamati keadaan ruangan
tersebut. Ia menyebar pandangannya ke seluruh penjuru ruangan yang tak terlalu
luas itu. Di matanya nampak jelas ada satu tanda tanya akan sesuatu hal.
"Arya lagi keluar, beli makanan,"
ucap sang kakak yang ternyata sudah mengetahui apa yang ingin Nathan tanyakan.
"Udahlah kamu jangan terlalu sedih gitu."
"Gimana gak sedih kak kalo ngeliat
keadaan mama kayak gini?!" jawab Jasco.
"Tapi yang penting kan semua masih dalam
keadaan normal. Detak jantungnya, nafasnya, terus..."
"Semua normal kalo mama masih koma
percuma kak!" potong Jasco.
"Terus kamu mau ngelakuin apa? Apa dengan
marah-marah kayak gitu kamu bisa bikin mama siuman? Dokter udah berusaha yang
terbaik buat mama, Co." jelas sang kakak. Jasco terdiam. Ternyata ucapan
sang kakak sedikit membuat dirinya merasa bersalah atas ucapannya barusan. Doni
yang ketika tiu ada di sebelah Jasco, hanya bisa diam sambil menepuk punggung
sahabatnya itu pelan-pelan.
Menit terus berlari. Sudah satu jam lebih
Jasco dan Doni berada di ruangan kecil tersebut. Satu kotak pizza yang Arya
bawa tadi pun sudah habis dilahap empat mahluk kelaparan yang masih setia
berada di samping sang pasien yang sampai saat itu masih belum siuman.
Tak lama kemudian tiba-tiba hadir seorang
dokter dan seorang perawat ke tengah mereka. Dan beberapa detik setelahnya,
sang dokter meminta beberapa orang dari mereka untuk meninggalkan ruangan
tersebut.
"Kak, aku pulang ya," ucap Jasco
saat ia berada di luar ruang rawat. Stela mengangguk. "Kalo ada apa-apa,
kabarin aku ya kak, sekecil apapun," sambung Jasco. Stela mengangguk lagi.
***
"Eh, bengong aja lo! Ngeliatin apaan
sih?" tanya Doni pada Jasco saat mereka berada di bangku taman sekolah.
Perlahan Jasco menunjuk seorang gadis dengan
tatapannya. Doni yang sedetik kemudian melempar penglihatannya pada sang objek
yang Jasco maksud, langsung melengkungkan senyumnya.
"Elo masih juga naro harapan sama
dia?" tanya Doni masih dengan senyumnya.
"Dia itu impian gue. Pokoknya di hati
gue gak ada siapapun selain Neira!" jawab Jasco tanpa menoleh. Matanya
masih terus menatap sang gadis tanpa henti.
"Seandainya gue yang ngegebet si Neira
gimana?" tanya Doni, santai.
"Apa lo bilang?" dengan cepat Jasco
menoleh ke arah Doni sambil menembakkan tatapan tajamnya pada sahabatnya itu.
Doni tersenyum lebar.
"Hehehe...becanda!"
"Seandainya itu beneran terjadi, gue gak
akan pernah maafin lo!" tegas Jasco. Doni langsung tersenyum, kecut.
***
Pagi. Pukul 07.05 waktu setempat.
Jasco berjalan pelan dari kelasnya sambil
menjinjing tas merahnya. Wajahnya mendung sesaat setalah ia diminta oleh sang
guru untuk segera meninggalkan kelas.
"Uh, padahal kan gue cuman terlambat 5
menit. Coba kalo dia yang terlambat masuk, telat 5 jam juga gak ada yang
protes! Dasar nyebelin banget!" Jasco menggerutu dalam hati. Sesaat
setelahnya, ia memutuskan untuk menghabiskan masa jam pelajaran pertamanya di
perpustakaan. Dan sedetik setelah tubuhnya memasuki ruang perpustakaan,
bibirnya langsung melengkungkan satu senyuman ketika ia menadapati Neira tengah
duduk di salah satu kursi disana.
Ternyata
gak semua kelakuan Pak Didit nyebelin. Mungkin ini udah takdir gue diusir sama
Pak Didit di jam pelajaran pertama. Batin Jasco.
Dengan jantung berdebar keras, Jasco berjalan
mendekati meja Neira dan berdiri di hadapan sang gadis. Menyadari ada yang
datang ke hadapannya, Neira pun langsung menmbangkitkan pandangannya.
"Eh, Jasco. Ada apa?" tanya Neira
santun. Satu senyuman terlengkung di bibirnya.
"Boleh gue duduk disini?" Jasco
balik bertanya.
Neira makin menambah lengkungan senyumannya.
"Oh, kalo cuma itu ngapain harus minta izin? Duduk aja kali..."
"Elo kok disini?" tanya Jasco.
"Gara-gara terlambat masuk, gue diusir
sama Bu Arni," jawan Neira.
"Sama dong! Gue juga diusir sama Pak
Didit gara-gara telat masuk," sambut Jasco dengan jawaban yang hampir
sama.
Tak lama keduanya saling berpandangan sambil
tersenyum.
"MEREKA KAN SUAMI ISTRI! JADI
PERATURANNYA SAMA!" ucap mereka serempak. Dan sesaat setelahnya, mereka
pun langsung tertawa terbahak-bahak. "HAHAHA...!!!"
"SSST...!!!" tiba-tiba sang penjaga
perpustakaan memberikan peringatan kepada Jasco dan Neira untuk tak lagi
mengeluarkan suara gaduh di ruangan tersebut. Mereka pun langsung menghentikan
suara tawa mereka dan melanjutkannya dengan volume suara yang lebih kecil.
Perlahan pandangan Jasco tertarik pada sebuah
gulungan kertas besar di sebelah Neira.
"Itu apa?" tanya Jasco penasaran.
Neira memandangi sebentar benda yang menjadi
sumber pertanyaan Jasco. "Oh...ini poster..."
"Boleh lihat?" tanya Jasco lagi.
Neira mengangguk sambil memberikan poster tersebut kepada Jasco. Dan setelah
gulungan kertas itu diterima, Jascolangsung melepas karet dan membentangkannya
di hadapannya. "Wow, poster Boyz II Men! Keren banget..."
"Elo suka Boyz II Men?" tanya
Neira.
"Yups! Malah waktu Boyz II Men konser di
Jakarta, gue berdiri di barisan paling depan lho..." jawab Jasco
bersemangat. "Kalo tahu elo juga suka sama mereka, mungkin waktu itu kita
nontonnya bisa barengan. Waktu konser mereka, lo ada di sebelah mana?"
Neira menarik nafas panjang. "Waktu itu
gue gak nonton. Waktu itu gue sakit.
Nyesel banget gue..." ucap Neira.
"Wah...sayang banget ya..." Jasco
ikut kecewa mendengar penyesalan Neira. Namun sedapat mungkin ia berusaha
mengurangi kekecewaan itu. "Gue punya foto-foto mereka sewaktu mereka
konser!"
Mendengar ucapan Jasco, Neira langsung
kembali tersenyum. "Gue boleh ikut cetak?"
Jasco tersenyum. "Gue bakal cetakin
semuanya buat lo asal..."
"Asal apa?" tanya Neira dengan
pandangan aneh.
"Asal lo mau nemenin gue dinner malem Minggu nanti?!" jawab
Jasco. Namun sedetik kemudian Jasco baru menyadari ucapan yang baru keluar dari
mulutnya barusan.
Oh
God, darimana gue dapet keberanian buat ngeluarin ucapan senekat itu? Tanya Jasco dalam
hati.
"Oke gue mau!" jawab Neira
tiba-tiba. Dan itu membuat Jasco senang tanpa melepas tatapan bengongnya.
"Yaudah, nanti semua foto-fotonya gue
kasih di hari dan di tempat kita nge-date,
oke?!"
"Oke..."
***
"Hai men!" seru Jasco yang
tiba-tiba datang dan langsung menepuk punggung Doni yang tengah menikmati
semangkok bakso di kantin.
"Uhuk, uhuk, uhuk, gila lo! Kalo nepok
punggung orang pake perasaan dong!" ucap Doni seraya meminum teh botol di
hadapannya.
"Alaaah, keseleg dikit gitu aja
marah," ledek Jasco.
"Keseleg juga bisa bikin orang mati tau
gak?! Kalo gue mati gimana?"
Jasco tersenyum geli. "Kalo lo mati...ya
dikuburlah, masa dibikin sate? Daging lo juga rasanya pahit
kaleee...hahaha..."
Doni memandangi wajah sahabatnya yang
terlihat ceria. Sudah lama sekali ia tak melihat Jasco sebahagia dan seceria
ini.
"Tumben muka lo cerah?! Biasanya kan
sehari-hari muka lo selalu kusut belipet 13..."
"Mau tau gak kenapa gue seneng
banget?" tanya Jasco pada Doni.
"Apa?" Doni malah balik bertanya.
"Sabtu malem nanti gue bakal nge-date sama Neira," jawab Jasco
dengan wajah berbinar.
"Apa?" Doni kaget mendengar jawaban
Jasco. "Kok bisa? Bukannya kalian gak terlalu kenal deket?"
"Ya emang kenapa? Gak ada yang gak
mungkin di dunia ini, apalagi buat seorang Jasco," jawab Jasco penuh
keyakinan. "Eh, bener ya kata lo, gak semua hari Sabtu itu sial buat gue.
Sekarang gue percaya banget sama omongan lo."
"Tapi lo jangan percaya 100% omongan gue
juga kali," ucap Doni pelan. Jasco agak bingung mendengarnya. "Lho, kok sekarang omongan lo kayak
gitu? Bukannya elo yang selalu ngeyakinin gue buat berpikir positif setiap
ngadepin hari Sabtu? Atau jangan-jangan menurut lo, gue bakal nemuin kesialan
lagi Sabtu nanti?" tanya Jasco.
Doni mengangkat kedua bahunya. "Gak
tau...maybe?!"
***
Sabtu malam.
Mobil Jasco menepi tepat disamping waring
seafood yang berdiri kokoh di tengah keramaian malam. Dan setelah mobil Jasco
terparkir dengan baik, ia keluar dari mobil bersama dengan Neira yang nampak
sangat cantik ketika itu.
"Gak papa kan kita makan di pinggir
jalan kayak gini?" tanya Neira sambil mengajak Jasco duduk di salah satu
kursi.
"Ya gak apa-apa, emang kenapa?"
ucap Jasco sambil tersenyum.
"Mungkin lo agak risih makan di tempat
kayak gini, secara lo anak orang tajir," jawab Neira.
"Pernah ada beberapa orang yang bilang
gitu ke gue tapi gue gak pernah nanggepin serius. Gue gak pernah risih makan di
tempat kayak gini. Malah yang bikin gue risih adalah kata 'tajir' itu sendiri.
Sampe sekarang gue masih aja risih sama kata itu. Tajir atau nggak, gue tetep
gue. Gue yang manusia biasa, sama kayak yang laennya," jelas Jasco. Neira
tersenyum mendengar kerendahan hati Jasco. "Oh iya, suka gak sama foto-foto
yang gue kasih?" tanya Jasco.
Neira memandangi belasan foto yang ada di
tangannya. Ia nampak tersenyum. "Suka. Sukaaa...banget! Makasih
ya..."
Jasco menjawabnya dengan anggukan pelan.
Perlahan, Jasco menarik nafasnya dalam-dalam.
"Neira, sebenernya ada yang mau gue omongin sama lo."
"Apa?"
"Sebenernya...udah sejak lama gue suka
sama lo. Dan sekarang gue punya satu harapan dari lo..."
"Apa?"
"Gue berharap banget lo mau nerima gue
sebagai...pacar lo." ucap Jasco pelan dan hati-hati.
Neira terdiam. Ia terdiam cukup lama.
"Neir...Neira! Elo kok diem? Elo marah
ya gue ngomong kayak gini?" tanya Jasco.
Neira sedikit bengong. "Oh, nggak! Gue
diem bukan karena itu, tapi karena...sorry
gue gak bisa. Sorry ya..."
"Kenapa?" tanya Jasco lagi.
"Kenapa? Yaaa karena gue...gue baru aja
jadian sama seseorang," jawab Neira.
"Baru aja?"
"Iya...baru aja kemaren."
"Kemaren?"
"Iya kemaren..." jawab Neira lagi.
Jasco tambah kecewa saja mendengarnya. "Hm, katanya sih dia mau kesini.
Gak papa kan?"
Jasco mengangguk pelan. Sangat pelan.
"Eh, tuh dia!" seru Neira sambil
melempar pandangannya ke arah luar warung. Dan di detik yang hampir sama Jasco
pun mengarahkan pandangannya kepada seseorang yang Neira tunjuk. Namun betapa
terkejutnya ia saat mengetahui bahwa orang yang Neira maksud adalah sahabatnya
sendiri, Doni.
Tanpa pikir panjang, Jasco langsung bangkit
dari duduknya dan berjalan cepat mendekati Doni yang belum sempat memasuki
warung seafood tersebut. Saat Jasco sudah berada tepat di depan Doni, tiba-tiba
ia langsung melayangkan tinjunya ke wajah Doni. Doni pun langsung terjatuh
karenanya.
"Jadi, jadi ini perlakuan lo di belakang
gue?" ucap Jasco dengan emosi tinggi.
"Co, gue mo jelasin..."
"Apa? Ternyata omongan lo yang punya
niat ngegebet si Neira itu gak cuma becanda! Ternyata lo emang bener-bener
ngelakuin hal itu! Pantesan lo ngelarang gue buat percaya ucapan lo 100%!
Pantes lo bakal tahu kalo hari Sabtu ini bukan Sabtu yang baik buat gue!"
ucap Jasco meledak-ledak. Dampaknya, peristiwa tersebut langsung menyedot perhatian
orang-orang disekitarnya, termasuk Neira.
"Doni, kamu gak apa-apa?" tanya
Neira sambil merangkul Doni yang masih terduduk. Perlahan pandangan Neira
langsung tertuju pada Jasco. Ia langsung bangkit dan berdiri di hadapan Jasco.
"Kenapa lo ngelakuin semua ini? Kenapa lo mukul Doni? Bukan gini caranya
kalo gue gak nerima lo!"
"Neir, sebentar...ini gak ada
hubungannya sama masalah itu. Ada alesan laen yang sebenernya lo gak
tahu..."
"Terserah!" Neira langsung memotong
ucapan Jasco. "Tahu atau nggak, yang pasti sekarang gue benci banget sama
lo! Ini! Gue gak butuh foto-foto lo!!!" bentak Neira sambil melempar
belasan foto yang ada di tangannya ke wajah Jasco, sehingga foto-foto tersebut
berhamburan dan jatuh ke tanah.
Jasco terdiam terpaku. Ia tak bisa berkata
apa-apa. Neira sudah terlanjur benci kepadanya. Dan itu sangat membuat hatinya
terpukul.
Setelah sekian lama terdiam, akhirnya Jasco
memutuskan untuk beranjak pergi meninggalkan Neira dan kekasih barunya dengan
hati yang terluka. Namun baru beberapa saat Jasco melangkah, tiba-tiba ia
berbalik badan.
"Doni! Gue cuma mau bilang satu hal sama
lo! Mulai detik ini lo harus anggap kalo kita ini gak pernah saling ketemu, gak
pernah saling kenal, dan gak pernah saling bersahabat sejak kemaren, sekarang,
dan selamanya!" teriak Jasco dari tempatnya. "Oh ya, satu hal lagi,
selamet ya buat kalian, semoga hubungan kalian bisa bertahan lama!"
sambung Jasco seraya pergi.
Dengan langkah cepat, Jasco berjalan menuju
tempat mobilnya diparkir. Namun saat ia sampai di tempat yang dituju, ia kaget
saat melihat ban mobilnya sudah tak berbentuk sempurna.
"Aaaaah...kenapa lagi ban bisa
kempes?" gumam Jasco kesal sambil menendang keras-keras ban yang kempes
tersebut.
Tak berapa lama, Jasco langsung berjalan
meninggalkan mobilnya. Dengan gontai, ia melangkahkan kaki-kaki beratnya di
jalanan aspal hitam yang membatu. Sambil terus berjalan, ia terus meratapi
kejadian yang telah menimpanya malam itu.
"Sekarang, gak ada lagi yang perlu gue
raguin tentang hari Sabtu. Hari Sabtu itu adalah hari yang paling jahat buat
gue. Dan Sabtu ini, adalah kesialan terbesar gue selama ini. Ditolak Neira,
persahabatan ancur, dan yang terakhir...Neira udah benci banget sama gue.
Karena buat gue yang paling sakit adalah dibenci sama orang yang gue cinta..."
kata Jasco pada dirinya sendiri. Tak terasa air matanya pun sudah mengalir di
pipinya. "Gue benci hari ini! Gue benci hari Sabtu!"
Tak lama kemudian tiba-tiba handphone Jasco
berbunyi. Di layar handphone tertera jelas nama Stela sebagai sang penelepon.
"Halo, kak..." sapa Jasco sedikit
tersedu.
"Co...sssh..." suara Stela juga
terdengar tersedu.
"Kak, kenapa?" tanya Jasco
penasaran.
"Mama...mama...meninggal..."
Jasco menganga lebar saat mendengar ucapan
Stela. Jantungnya berdebar keras. Dan perasaannya sangat terpukul.
Beberapa saat kemudian genggaman tangannya
melemah, hingga handphone yang tengah berada di tangannya langsung terjatuh dan
hancur.
"ARRRRRGH...I HATE
SATURDAAAAAY...!!!"
***
Bogor, Maret 2007
Follow My Twitter : @herdy126