Kamis, 17 Oktober 2013

Cerpen : "I HATE SATURDAY!"

I Hate Saturday

Kelas masih nampak sepi. Hanya baru ada beberapa orang saja yang datang. Di salah satu kursi, Jasco duduk sendiri sambil memandangi buku-buku pelajaran yang ada di dalam tasnya. Dalam tatapannya itu tertangkap jelas raut kekesalan atas apa yang sedang dilihatnya.
"Ck..kenapa sih hari Sabtu itu ngumpul 3 pelajaran yang gak gue suka?! Fisika, Sejarah, Bahasa Inggris, kenapa gak terpisah aja?! Cuma pelajaran Bahasa Indonesia yang sedikit menghibur," Jasco menggerutu dalam hati.
Beberapa saat setelah menggerutu, Jasco mengeluarkan buku catatan Fisika-nya. Dan dibacanya catatan-catatan yang pernah ditulisnya.
"Tuh kan, gue gak suka banget sama pelajaran ini. Meski udah gue pelajarin berulang-ulang, gak ada satupun yang bener-bener bisa gue pahamin," gerutu Jasco sekali lagi.
"Woi, lagi ngapain Co?" tiba-tiba Doni, sahabat Jasco, sudah ada di sebelahnya.
"Gak liat gue lagi ngapain!" jawab Jasco tak ramah.
"Wes, nyantai dong men, jutek amat! Lagi dapet lo ya?!" ledek Doni.
"Sialan lo!" seru Jasco sambil beranjak keluar dari kelasnya meninggalkan Doni.
***
Selepas jam istirahat berakhir, Jasco berjalan gontai ke dalam kelasnya. Nampak jelas oleh matanya, hampir semua teman sekelasnya tengah memegang selembar kertas putih di tangan mereka masing-masing.
"Co, ulangan Bahasa Indonesia udah dibagiin lho," ucap Doni sambil memberika kertas ulangan yang telah ditulisi nama 'Jasco Aditya' kepada pemiliknya. Jasco pun menerimanya dengan antusias.
Dipandanginya kertas tersebut. "Haa?! Gila! Masa nilai ulangan Bahasa Indonesia gue 60?! Bahasa Indonesia gitu lho. Bukannya gue sombong, tapi lo tau sendiri kan gimana antusiasnya gue sama pelajaran ini? Di kelas ini gue adalah salah satu orang yang nilai ulangan Bahasa Indonesianya selalu bikin orang pengen liat. Biasanya ulangan Bahasa Indonesia gue gak kurang dari 80 atau 90, dimana biasanya orang lain cuman bisa dapet nilai 60. Biasanya gue bisa bikin orang lain kaget pas ngeliat nilai gue," gerutu Jasco pada sahabatnya. Dengan diikuti Doni, Jasco berjalan ke mejanya.
"Tapi sekarang juga lo masih bisa bikin orang laget sama nilai lo itu."
"Ya, lo bener," sambut Jasco lemah. Di saat yang bersamaan mereka duduk di kursi masing-masing, di meja yang sama.
Perlahan, mata Jasco terarah pada Danar yang tengah duduk di kursi barisan belakang. Ketika itu objek yang sedang menjadi sasaran penglihatan Jasco tengah tersenyum manis sambil memandangi kertas putih yang ada dipegangnya.
"Nilai dia 100. Nilai yang sempurna," celetuk Doni tiba-tiba. Ternyata Doni memperhatikan tingkah Jasco sedari tadi. "Saingan terberat lo sekarang nilainya jauh banget diatas lo."
"Tapi gue harus yakin, Pak Rahmat bakal pilih gue jadi wakil sekolah ini buat ngikutin acara cerdas cermat di acara Bulan Bahasa nanti," tegas Jasco penuh keyakinan.
"Eh, Pak Rahmat dateng tuh! Semoga aja keyakinan lo itu terbukti."
Sesaat setalah menyimpan beberapa bukunya di meja, Pak Rahmat pun langsung menyapa anak-anak didiknya.
"Selamat siang..."
"Selamat siang, Pak!"
"Kalian sudah menerima hasil tes kalian kan? Nilai tes Bahasa Indonesia tertinggi di sekolah ada di kelas ini. Maka dari itu saya dengan beberapa guru Bahasa Indonesia yang lain sudah sepakat memutuskan bahwa orang yang berhak menjadi wakil sekolah kita untuk mengikuti cerdas cermat Bulan Bahas adalah Danar!" seru sang pengajar. Sebagian manusia di kelas itu bertepuk tangan meriah dan sebagian lagi merasa terkejut saat nama Jasco tidak disebut.
"Tapi Pak, bukannya saya yang selalu bapak unggulkan di sekolah ini?" tanya Jasco mengeluarkan suara protesnya.
"Tapi nilai kamu anjlok dalam tes ini, jauh dibawah nilai Danar," jawab Pak Rahmat.
"Tapi kan baru sekali ini saya dapet nilai segini, Pak."
"Tapi fatal. Soal-soal dalam tes tersebut mengacu pada prediksi soal-soal yang akan diujikan oleh dewan juri nanti di cerdas cermat Bulan Bahasa."
"Mungkin saja saat itu saya belum siap atau agak kurang fokus dan teliti. Lagipula bapak waktu itu adain tes-nya kan mendadak, jadi benar-benar belum ada persiapan."
"Meskipun tes-nya mendadak dan belum ada persiapan, buktinya Danar nilai sempurna?! Saya butuh orang yang seperti itu," jelas Pak Rahmat. Jasco pun langsung mengakhiri debatnya dengan sang pengajar. Sedikitnya rasa malu mulai menghinggapi tubuhnya.
"Co, udahlah! Mungkin kesempatan lo bukan sekarang. Lagipula bener kata lo, mungkin aja minggu kemaren tuh lo belom siap sama ulangan ini," bisik Doni membesarkan hati sahabatnya itu.
Jasco menatap Doni. "Gue baru inget..."
"Inget apa?"
"Ulangan ini diadainnya minggu kemaren kan?" tanya Jasco. Doni mengangguk pelan. "Hari Sabtu kan?" tanya Jasco lagi. Doni pun mengangguk lagi. "Pantes!!!"
***
Jasco berlari menyusuri lorong rumah sakit dengan masih berseragam sekolah. Hatinya dipenuhi perasaan tak enak yang tidak menentu. Otaknya dirasuki banyak sekali pikiran-pikiran memuakkan sejak pagi, mulai dari batalnya ia menjadi wakil sekolah pada Bulan Bahasa hingga kenyataan yang mengharuskan sang bunda dibawa ke rumah sakit karena kecelakaan mobil.
Setelah berjalan dengan cukup cepat, akhirnya Jasco tiba di ruang VIP yang telah menampung sang bunda disana. Di ruang tersebut Jasco mendapati sang bunda yang terbaring lemah di pembaringan dengan selang infus yang menempel di tangan kirinya. Di samping tempat tidur, Stela, kakak perempuan Jasco, dengan setia mendampingi sang bunda dari pertama kali masuk.
"Mama kenapa kak?" tanya Jasco panik. Ia langsung berlari ke arah ibunya. Air matanya menetes di kedua pipinya.
"Mama kecelakaan. Mobil mama bertabrakan sama truk pengangkut barang," jelas sang kakak yang ternyata juga telah mengalirkan sebuah aliran air kecil di kedua pipinya.
"Kapan?"
"Tadi pagi," jawab Stela, sambil berusaha menghapus air matanya.
"Kenapa kakak baru ngasih tahu aku sekarang? Kenapa gak dari pagi?" tanya Jasco agak sedikit berang.
"Kamu kan masih sekolah."
"Buat hal sedarurat ini, kakak masih mentingin sekolah aku?!" Jasco marah.
"Iya kakak minta maaf..." ucap Stela pelan.
Jasco memandangi wajah ibunya yang terbaring lemah. Perban dengan sedikit noda darah dan antiseptic melingkar di kepalanya. Garis-garis lecet dan selang oksigen pun tak lepas dari pandangan Jasco.
"Ma, ini Jasco ma..." bisik Jasco pada ibunya. Ketika itu Jasco seperti sedang berbicara pada sebuah patung.
"Co, udahlah biarin mama istirahat. Meskipun masa kritisnya udah lewat, tapi kata dokter, mama jangan banyak diganggu," jelas sang kakak.
"Kapan terakhir kali mama siuman?" tanya Jasco penasaran.
Stela menggeleng.
"Apa?" tanya Jasco bengong dan kaget. "Jadi mama koma?"
Stela mengangguk.
"Tapi yang penting masa kritisnya udah lewat," tambah Stela. Jasco sedikit merasa lega.
"Aku nginep disini ya kak," ucap Jasco. "Biar bisa nemenin kakak."
"Gak usah Co. Lagian nanti juga Arya mau dateng buat temenin kakak," Stela menolak tawaran Jasco dengan halus. "Udah, kamu pulang aja istirahat di rumah..."
Jasco mengangguk pelan. Ia merasa lebih lega lagi saat Stela bilang bahwa Arya, pacar Stela, akan datang dan menemani Stela malam itu di rumah sakit.
***
Selepas makan malam, Jasco berjalan menuju kamar sang bunda sambil mengutak-atik handphone-nya. Di tengah acara pengutak-atikan handphone, Jasco langsung membanting tubuhnya ke tempat tidur sang bunda sesaat setelah ia berada disana. Dan di detik yang hampir sama, Jasco langsung menghubungi nomor handphone Doni.
"Halo Don? Don...Don...Doni!" sapa Jasco pada Doni secara berulang-ulang. Terdengar dengar dengan keras suara dentuman musik dari seberang sana.
"Halo, Co!"
"Lo lagi dimana sih? Berisik amat?!" tanya Jasco heran.
"Ajep...ajep...ajep...ajep! Hahaha...gue lagi hangeout neh ama cewek gue. Malem Minggu neh!!!" suara Doni terdengar sangat keras.
"Enak ya jadi lo, udah punya cewek. Sementara gue tiap hari Sabtu gak pernah kemana-mana. Hari Sabtu emang selalu sadis sama gue. Kayaknya kesialan selalu dateng ke gue tiap hari Sabtu, kenapa ya Don? Gak cuman masalah cewek aja Don, tapi semua hal," ucap Jasco semakin lemah.
"Alaaaaah itu kan cuman kebetulan aja. Semua hari itu diciptain baik tahu sama Tuhan," jawab Doni.
"Don, tahu gak apa yang buat gue bisa bertahan hidup setiap hari Sabtu?"
"Apa?"
Adanya hari besok!" jawab Jasco. "Don, asal lo tau sekitar 5 tahun yang lalu bokap-nyokap gue resmi cerai tepat di hari Sabtu. Laptop kesayangan gue yang didalemnya banyak file-file penting, ilang dimaling orang juga tepat di hari Sabtu. Bahkan nyokap gue kecelakaan mobil juga tepat di hari Sabtu," sambung Jasco.
"Co, tapi itu jangan dijadiin patokan juga kali," jawab Doni berusaha menerangkan. "Bentar-bentar, gue kurang ngerti sama omongan lo yang terakhir tuh. Kapan nyokap lo pernah kecelakaan?"
"Tadi pagi!"
"Tadi pagi? Jadi baru tadi pagi?" tanya Doni kaget. "Kok elo gak ngabarin gue? Hm, besok gue mo nengokin nyokap lo ya?! Besok gue bakal ke rumah lo dulu, baru kita ke rumah sakit bareng, oke?!"
"Oke! Udah ya! Having fun aja deh sama cewek lo!"
***
Mobil Jasco bergerak keluar dari gerbang rumahnya. Ia mengendarai benda transportasi roda empat itu dengan ditemani Doni di sebelahnya. Seperti yang telah disepakati, mereka berniat mengunjungi ibunya Jasco di rumah sakit.
"Eh iya, gimana semalem?" tanya Jasco di tengah pekerjaannya menyetir mobil.
"Oh, semalem seru sih, cuman gue putus sama cewek gue," jawab Doni santai.
Jasco kaget mendengarnya. "Lho, bukannya waktu semalem gue telfon elo happy banget kedengerannya?"
"Iya sih, tapi ya mau diapain lagi dong kalo orang udah bosen?!"
"Haaa...jadi lo mutusin dia cuman gara-gara lo bosen?" tanya Jasco memastikan.
Doni tersenyum. "Emang kenapa?"
Jasco tak berkomentar. Ia hanya merespon dengan satu tarikan nafas panjang.
***
Setelah beberapa saat berjalan menyusuri lorong rumah sakit, Jasco dan Doni tiba di depan sebuah ruangan rawat VIP tempat ibunya Jasco dirawat. Mereka langsung memasuki ruangan tersebut tanpa harus berpikir panjang. Rasa keingintahuan yang besarlah yang mendorong mereka untuk mengetahui keadaan sang pasien, dengan segera.
"Gimana kak?" tanya Jasco lemah saat ia berada di samping sang bunda. Stela hanya menjawab dengan satu gelengan kepala yang juga terlihat lemah.
Perlahan Jasco mengamati keadaan ruangan tersebut. Ia menyebar pandangannya ke seluruh penjuru ruangan yang tak terlalu luas itu. Di matanya nampak jelas ada satu tanda tanya akan sesuatu hal.
"Arya lagi keluar, beli makanan," ucap sang kakak yang ternyata sudah mengetahui apa yang ingin Nathan tanyakan. "Udahlah kamu jangan terlalu sedih gitu."
"Gimana gak sedih kak kalo ngeliat keadaan mama kayak gini?!" jawab Jasco.
"Tapi yang penting kan semua masih dalam keadaan normal. Detak jantungnya, nafasnya, terus..."
"Semua normal kalo mama masih koma percuma kak!" potong Jasco.
"Terus kamu mau ngelakuin apa? Apa dengan marah-marah kayak gitu kamu bisa bikin mama siuman? Dokter udah berusaha yang terbaik buat mama, Co." jelas sang kakak. Jasco terdiam. Ternyata ucapan sang kakak sedikit membuat dirinya merasa bersalah atas ucapannya barusan. Doni yang ketika tiu ada di sebelah Jasco, hanya bisa diam sambil menepuk punggung sahabatnya itu pelan-pelan.
Menit terus berlari. Sudah satu jam lebih Jasco dan Doni berada di ruangan kecil tersebut. Satu kotak pizza yang Arya bawa tadi pun sudah habis dilahap empat mahluk kelaparan yang masih setia berada di samping sang pasien yang sampai saat itu masih belum siuman.
Tak lama kemudian tiba-tiba hadir seorang dokter dan seorang perawat ke tengah mereka. Dan beberapa detik setelahnya, sang dokter meminta beberapa orang dari mereka untuk meninggalkan ruangan tersebut.
"Kak, aku pulang ya," ucap Jasco saat ia berada di luar ruang rawat. Stela mengangguk. "Kalo ada apa-apa, kabarin aku ya kak, sekecil apapun," sambung Jasco. Stela mengangguk lagi.
***
"Eh, bengong aja lo! Ngeliatin apaan sih?" tanya Doni pada Jasco saat mereka berada di bangku taman sekolah.
Perlahan Jasco menunjuk seorang gadis dengan tatapannya. Doni yang sedetik kemudian melempar penglihatannya pada sang objek yang Jasco maksud, langsung melengkungkan senyumnya.
"Elo masih juga naro harapan sama dia?" tanya Doni masih dengan senyumnya.
"Dia itu impian gue. Pokoknya di hati gue gak ada siapapun selain Neira!" jawab Jasco tanpa menoleh. Matanya masih terus menatap sang gadis tanpa henti.
"Seandainya gue yang ngegebet si Neira gimana?" tanya Doni, santai.
"Apa lo bilang?" dengan cepat Jasco menoleh ke arah Doni sambil menembakkan tatapan tajamnya pada sahabatnya itu.
Doni tersenyum lebar. "Hehehe...becanda!"
"Seandainya itu beneran terjadi, gue gak akan pernah maafin lo!" tegas Jasco. Doni langsung tersenyum, kecut.
***
Pagi. Pukul 07.05 waktu setempat.
Jasco berjalan pelan dari kelasnya sambil menjinjing tas merahnya. Wajahnya mendung sesaat setalah ia diminta oleh sang guru untuk segera meninggalkan kelas.
"Uh, padahal kan gue cuman terlambat 5 menit. Coba kalo dia yang terlambat masuk, telat 5 jam juga gak ada yang protes! Dasar nyebelin banget!" Jasco menggerutu dalam hati. Sesaat setelahnya, ia memutuskan untuk menghabiskan masa jam pelajaran pertamanya di perpustakaan. Dan sedetik setelah tubuhnya memasuki ruang perpustakaan, bibirnya langsung melengkungkan satu senyuman ketika ia menadapati Neira tengah duduk di salah satu kursi disana.
Ternyata gak semua kelakuan Pak Didit nyebelin. Mungkin ini udah takdir gue diusir sama Pak Didit di jam pelajaran pertama. Batin Jasco.
Dengan jantung berdebar keras, Jasco berjalan mendekati meja Neira dan berdiri di hadapan sang gadis. Menyadari ada yang datang ke hadapannya, Neira pun langsung menmbangkitkan pandangannya.
"Eh, Jasco. Ada apa?" tanya Neira santun. Satu senyuman terlengkung di bibirnya.
"Boleh gue duduk disini?" Jasco balik bertanya.
Neira makin menambah lengkungan senyumannya. "Oh, kalo cuma itu ngapain harus minta izin? Duduk aja kali..."
"Elo kok disini?" tanya Jasco.
"Gara-gara terlambat masuk, gue diusir sama Bu Arni," jawan Neira.
"Sama dong! Gue juga diusir sama Pak Didit gara-gara telat masuk," sambut Jasco dengan jawaban yang hampir sama.
Tak lama keduanya saling berpandangan sambil tersenyum.
"MEREKA KAN SUAMI ISTRI! JADI PERATURANNYA SAMA!" ucap mereka serempak. Dan sesaat setelahnya, mereka pun langsung tertawa terbahak-bahak. "HAHAHA...!!!"
"SSST...!!!" tiba-tiba sang penjaga perpustakaan memberikan peringatan kepada Jasco dan Neira untuk tak lagi mengeluarkan suara gaduh di ruangan tersebut. Mereka pun langsung menghentikan suara tawa mereka dan melanjutkannya dengan volume suara yang lebih kecil.
Perlahan pandangan Jasco tertarik pada sebuah gulungan kertas besar di sebelah Neira.
"Itu apa?" tanya Jasco penasaran.
Neira memandangi sebentar benda yang menjadi sumber pertanyaan Jasco. "Oh...ini poster..."
"Boleh lihat?" tanya Jasco lagi. Neira mengangguk sambil memberikan poster tersebut kepada Jasco. Dan setelah gulungan kertas itu diterima, Jascolangsung melepas karet dan membentangkannya di hadapannya. "Wow, poster Boyz II Men! Keren banget..."
"Elo suka Boyz II Men?" tanya Neira.
"Yups! Malah waktu Boyz II Men konser di Jakarta, gue berdiri di barisan paling depan lho..." jawab Jasco bersemangat. "Kalo tahu elo juga suka sama mereka, mungkin waktu itu kita nontonnya bisa barengan. Waktu konser mereka, lo ada di sebelah mana?"
Neira menarik nafas panjang. "Waktu itu gue gak  nonton. Waktu itu gue sakit. Nyesel banget gue..." ucap Neira.
"Wah...sayang banget ya..." Jasco ikut kecewa mendengar penyesalan Neira. Namun sedapat mungkin ia berusaha mengurangi kekecewaan itu. "Gue punya foto-foto mereka sewaktu mereka konser!"
Mendengar ucapan Jasco, Neira langsung kembali tersenyum. "Gue boleh ikut cetak?"
Jasco tersenyum. "Gue bakal cetakin semuanya buat lo asal..."
"Asal apa?" tanya Neira dengan pandangan aneh.
"Asal lo mau nemenin gue dinner malem Minggu nanti?!" jawab Jasco. Namun sedetik kemudian Jasco baru menyadari ucapan yang baru keluar dari mulutnya barusan.
Oh God, darimana gue dapet keberanian buat ngeluarin ucapan senekat itu? Tanya Jasco dalam hati.
"Oke gue mau!" jawab Neira tiba-tiba. Dan itu membuat Jasco senang tanpa melepas tatapan bengongnya.
"Yaudah, nanti semua foto-fotonya gue kasih di hari dan di tempat kita nge-date, oke?!"
"Oke..."
***
"Hai men!" seru Jasco yang tiba-tiba datang dan langsung menepuk punggung Doni yang tengah menikmati semangkok bakso di kantin.
"Uhuk, uhuk, uhuk, gila lo! Kalo nepok punggung orang pake perasaan dong!" ucap Doni seraya meminum teh botol di hadapannya.
"Alaaah, keseleg dikit gitu aja marah," ledek Jasco.
"Keseleg juga bisa bikin orang mati tau gak?! Kalo gue mati gimana?"
Jasco tersenyum geli. "Kalo lo mati...ya dikuburlah, masa dibikin sate? Daging lo juga rasanya pahit kaleee...hahaha..."
Doni memandangi wajah sahabatnya yang terlihat ceria. Sudah lama sekali ia tak melihat Jasco sebahagia dan seceria ini.
"Tumben muka lo cerah?! Biasanya kan sehari-hari muka lo selalu kusut belipet 13..."
"Mau tau gak kenapa gue seneng banget?" tanya Jasco pada Doni.
"Apa?" Doni malah balik bertanya.
"Sabtu malem nanti gue bakal nge-date sama Neira," jawab Jasco dengan wajah berbinar.
"Apa?" Doni kaget mendengar jawaban Jasco. "Kok bisa? Bukannya kalian gak terlalu kenal deket?"
"Ya emang kenapa? Gak ada yang gak mungkin di dunia ini, apalagi buat seorang Jasco," jawab Jasco penuh keyakinan. "Eh, bener ya kata lo, gak semua hari Sabtu itu sial buat gue. Sekarang gue percaya banget sama omongan lo."
"Tapi lo jangan percaya 100% omongan gue juga kali," ucap Doni pelan. Jasco agak bingung mendengarnya.  "Lho, kok sekarang omongan lo kayak gitu? Bukannya elo yang selalu ngeyakinin gue buat berpikir positif setiap ngadepin hari Sabtu? Atau jangan-jangan menurut lo, gue bakal nemuin kesialan lagi Sabtu nanti?" tanya Jasco.
Doni mengangkat kedua bahunya. "Gak tau...maybe?!"
***
Sabtu malam.
Mobil Jasco menepi tepat disamping waring seafood yang berdiri kokoh di tengah keramaian malam. Dan setelah mobil Jasco terparkir dengan baik, ia keluar dari mobil bersama dengan Neira yang nampak sangat cantik ketika itu.
"Gak papa kan kita makan di pinggir jalan kayak gini?" tanya Neira sambil mengajak Jasco duduk di salah satu kursi.
"Ya gak apa-apa, emang kenapa?" ucap Jasco sambil tersenyum.
"Mungkin lo agak risih makan di tempat kayak gini, secara lo anak orang tajir," jawab Neira.
"Pernah ada beberapa orang yang bilang gitu ke gue tapi gue gak pernah nanggepin serius. Gue gak pernah risih makan di tempat kayak gini. Malah yang bikin gue risih adalah kata 'tajir' itu sendiri. Sampe sekarang gue masih aja risih sama kata itu. Tajir atau nggak, gue tetep gue. Gue yang manusia biasa, sama kayak yang laennya," jelas Jasco. Neira tersenyum mendengar kerendahan hati Jasco. "Oh iya, suka gak sama foto-foto yang gue kasih?" tanya Jasco.
Neira memandangi belasan foto yang ada di tangannya. Ia nampak tersenyum. "Suka. Sukaaa...banget! Makasih ya..."
Jasco menjawabnya dengan anggukan pelan.
Perlahan, Jasco menarik nafasnya dalam-dalam. "Neira, sebenernya ada yang mau gue omongin sama lo."
"Apa?"
"Sebenernya...udah sejak lama gue suka sama lo. Dan sekarang gue punya satu harapan dari lo..."
"Apa?"
"Gue berharap banget lo mau nerima gue sebagai...pacar lo." ucap Jasco pelan dan hati-hati.
Neira terdiam. Ia terdiam cukup lama.
"Neir...Neira! Elo kok diem? Elo marah ya gue ngomong kayak gini?" tanya Jasco.
Neira sedikit bengong. "Oh, nggak! Gue diem bukan karena itu, tapi karena...sorry gue gak bisa. Sorry ya..."
"Kenapa?" tanya Jasco lagi.
"Kenapa? Yaaa karena gue...gue baru aja jadian sama seseorang," jawab Neira.
"Baru aja?"
"Iya...baru aja kemaren."
"Kemaren?"
"Iya kemaren..." jawab Neira lagi. Jasco tambah kecewa saja mendengarnya. "Hm, katanya sih dia mau kesini. Gak papa kan?"
Jasco mengangguk pelan. Sangat pelan.
"Eh, tuh dia!" seru Neira sambil melempar pandangannya ke arah luar warung. Dan di detik yang hampir sama Jasco pun mengarahkan pandangannya kepada seseorang yang Neira tunjuk. Namun betapa terkejutnya ia saat mengetahui bahwa orang yang Neira maksud adalah sahabatnya sendiri, Doni.
Tanpa pikir panjang, Jasco langsung bangkit dari duduknya dan berjalan cepat mendekati Doni yang belum sempat memasuki warung seafood tersebut. Saat Jasco sudah berada tepat di depan Doni, tiba-tiba ia langsung melayangkan tinjunya ke wajah Doni. Doni pun langsung terjatuh karenanya.
"Jadi, jadi ini perlakuan lo di belakang gue?" ucap Jasco dengan emosi tinggi.
"Co, gue mo jelasin..."
"Apa? Ternyata omongan lo yang punya niat ngegebet si Neira itu gak cuma becanda! Ternyata lo emang bener-bener ngelakuin hal itu! Pantesan lo ngelarang gue buat percaya ucapan lo 100%! Pantes lo bakal tahu kalo hari Sabtu ini bukan Sabtu yang baik buat gue!" ucap Jasco meledak-ledak. Dampaknya, peristiwa tersebut langsung menyedot perhatian orang-orang disekitarnya, termasuk Neira.
"Doni, kamu gak apa-apa?" tanya Neira sambil merangkul Doni yang masih terduduk. Perlahan pandangan Neira langsung tertuju pada Jasco. Ia langsung bangkit dan berdiri di hadapan Jasco. "Kenapa lo ngelakuin semua ini? Kenapa lo mukul Doni? Bukan gini caranya kalo gue gak nerima lo!"
"Neir, sebentar...ini gak ada hubungannya sama masalah itu. Ada alesan laen yang sebenernya lo gak tahu..."
"Terserah!" Neira langsung memotong ucapan Jasco. "Tahu atau nggak, yang pasti sekarang gue benci banget sama lo! Ini! Gue gak butuh foto-foto lo!!!" bentak Neira sambil melempar belasan foto yang ada di tangannya ke wajah Jasco, sehingga foto-foto tersebut berhamburan dan jatuh ke tanah.
Jasco terdiam terpaku. Ia tak bisa berkata apa-apa. Neira sudah terlanjur benci kepadanya. Dan itu sangat membuat hatinya terpukul.
Setelah sekian lama terdiam, akhirnya Jasco memutuskan untuk beranjak pergi meninggalkan Neira dan kekasih barunya dengan hati yang terluka. Namun baru beberapa saat Jasco melangkah, tiba-tiba ia berbalik badan.
"Doni! Gue cuma mau bilang satu hal sama lo! Mulai detik ini lo harus anggap kalo kita ini gak pernah saling ketemu, gak pernah saling kenal, dan gak pernah saling bersahabat sejak kemaren, sekarang, dan selamanya!" teriak Jasco dari tempatnya. "Oh ya, satu hal lagi, selamet ya buat kalian, semoga hubungan kalian bisa bertahan lama!" sambung Jasco seraya pergi.
Dengan langkah cepat, Jasco berjalan menuju tempat mobilnya diparkir. Namun saat ia sampai di tempat yang dituju, ia kaget saat melihat ban mobilnya sudah tak berbentuk sempurna.
"Aaaaah...kenapa lagi ban bisa kempes?" gumam Jasco kesal sambil menendang keras-keras ban yang kempes tersebut.
Tak berapa lama, Jasco langsung berjalan meninggalkan mobilnya. Dengan gontai, ia melangkahkan kaki-kaki beratnya di jalanan aspal hitam yang membatu. Sambil terus berjalan, ia terus meratapi kejadian yang telah menimpanya malam itu.
"Sekarang, gak ada lagi yang perlu gue raguin tentang hari Sabtu. Hari Sabtu itu adalah hari yang paling jahat buat gue. Dan Sabtu ini, adalah kesialan terbesar gue selama ini. Ditolak Neira, persahabatan ancur, dan yang terakhir...Neira udah benci banget sama gue. Karena buat gue yang paling sakit adalah dibenci sama orang yang gue cinta..." kata Jasco pada dirinya sendiri. Tak terasa air matanya pun sudah mengalir di pipinya. "Gue benci hari ini! Gue benci hari Sabtu!"
Tak lama kemudian tiba-tiba handphone Jasco berbunyi. Di layar handphone tertera jelas nama Stela sebagai sang penelepon.
"Halo, kak..." sapa Jasco sedikit tersedu.
"Co...sssh..." suara Stela juga terdengar tersedu.
"Kak, kenapa?" tanya Jasco penasaran.
"Mama...mama...meninggal..."
Jasco menganga lebar saat mendengar ucapan Stela. Jantungnya berdebar keras. Dan perasaannya sangat terpukul.
Beberapa saat kemudian genggaman tangannya melemah, hingga handphone yang tengah berada di tangannya langsung terjatuh dan hancur.
"ARRRRRGH...I HATE SATURDAAAAAY...!!!"
***
Bogor, Maret 2007

Follow My Twitter : @herdy126

Senin, 07 Oktober 2013

Cerpen : "7 HARI"


7 HARI

 “Hei, bangun!”
Mungkin kalimat kolaborasi itu yang akan aku dengar jika jam dinding, weker, serta baju yang kugantung di belakang pintu bisa berbicara. Tapi ini dunia nyata. Hanya suara ibu yang terdengar, yang selalu membuatku membuka mata di awal aktivitasku beberapa hari ini. Itupun karena dalam beberapa hari ini aku selalu lupa menyalakan alarm pada jam wekerku.
Dengan lekas kunyalakan lampu. Uh…cahayanya merasuk kasar ke dalam bola mataku. Aku bangkit dari pembaringan dan langsung terduduk. Lalu kuperhatikan keadaan kamar, masih sama seperti pada saat aku tinggal tidur tadi malam.
Pagi ini masih terasa sangat sejuk. Seharusnya udara sejuk inilah yang bias membuatku terlebih otakku untuk kembali segar dan siap menjalankan aktivitas hari ini dengan baik. Namun entah mengapa udara segar hari ini tak membuatku seperti itu. Udara sejuk kali ini bukannya membuatku bersemangat melihat ke depan, tapi malah membuatku teringat pada peristiwa kemarin.
Kemarin adalah hari yang menjembataniku pada kesulitan-kesulitan yang melelahkan. Kesulitan-kesulitan yang juga membingungkan. Kemarin Flury nembak aku lagi untuk yang ketiga kalinya. Ia sangat tidak puas jika status hubungannya denganku hanya sebatas sahabat, meskipun ini cara terbaik untuk kami berdua. Aku sangat menyayangkan keputusannya yang selalu mendesakku agar aku menerima cintanya. Jujur saja saat ini bahkan mungkin untuk haru-hari selanjutnya, aku tak pernah memiliki perasaan yang istimewa padanya seperti yang ia rasakan terhadapku. Aku hanya menganggapnya sebagai seorang adik, tak lebih. Karena Flury lebih muda 5 bulan dariku. Sehingga aku sering memanjakan dia layaknya seorang kakak terhadap adiknya.
Satu hal yang membuatku sangat kebingunan adalah Flury merupakan seorang gadis manja yang nekat melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Kali ini dia nembak aku dengan menyertai sebuah ancaman andaikan aku tidak menerima cintanya. Dia mengeluarkan ancaman akan bunuh diri! Oo…sebegitu besarnyakah cintanya terhadapku? Lalu mau di kemanakan hubunganku dengan Venus yang baru seminggu ini terjalin? Uuuh…aku super bingung! Otakku dipenuhi berbagai macam pemikiran yang tak berguna di pagi ini. Pagi yang seharusnya menjadi penyejuk kegelisahanku atas kejadian-kejadian kemarin atau kemarin lusa.
***
Aku tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Lalu aku masuk kelas dengan sejuta kegundahanku. Ternyata aku adalah orang pertama yang hadir di kelas. Tas gendong hitam kesayanganku kubanting keatas meja seperti mengisyaratkan pada dunia bahwa…”Hai…inilah seorang Rhino yang sedang mengalami kebingungan mendalam!”
Aku duduk dan kembali memikirkan apa yang harus aku lakukan terhadap tawaran Flury nanti. Namun sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, si nona pembuat pusing sudah dating dengan sejuta senyum yang sama sekali tidak aku suka.
“Hai…Rhino!” sapa Flury sambil mendekatiku dan duduk di sebelahku.
Meskipun malas, aku tetap berusaha menghargai sapaannya. “Hai…”
“Rhino…tawaran Flury udah Rhino pikirin baik-baik kan? Dan jawabannya pasti iya kan? Ayolah, No!” desak Flury. Kedua tangannya mencengkeram kedua lenganku.
“Flur, Rhino bukannya gak mau jadi pacar Flury, tapi…”
“Tapi apa, No?” potong Flury.
“Venus!” jawabku singkat.
“Huh…dia lagi dia lagi. Emangnya Flury pikirin! Yang pasti sekarang Flury mau Rhino jadi pacar Flury, titik!”
Aku menatap wajah Flury dengan tajam. Keteraturan nafasku semakin menjauhi normal. Lalu aku memandangi keadaan sekitar. Makin lama makin banyak orang yang hadir di kelas. Apalagi jam dengan lingkar biru yang bertengger di dinding kelasku mengarahkan jarum panjangnya ke angka 12, itu berarti pukul tujuh tiba sudah. Apa yang harus aku lakukan? Menerima cinta Flury atau menerima akibat dari penolakanku?
Mulut, hati, dan pikiran ini terasa tersendat menghadapi sesuatu yang harus aku hadapi sekarang. Aku masih belum mau membuka mulutku  dan mengeluarkan pernyataan. Tapi Flury masih saja terus dan terus mendesakku. Lenganku diguncangkannya keras-keras sebagai tanda ketidaksabarannya. Namun sebelum satu kalimat keluar dari mulutku, guru Fisika keburu datang dengan langkah berwibawanya.
“Flur, ada Pak Samsu. Ngomongnya dilanjutin aja nanti ya, pas jam istirahat,” kataku dengan suara rendah namun cepat.
Flury menyingkir dari mejaku. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Namun dari wajahnya, aku melihat ada guratan kekesalan padanya atas kejadian ini. Tidak sepertiku yang sedikit lega atas kehadiran sang guru Fisika. Seridaknya aku masih punya waktu beberapa jam untuk kembali menelaah dan memikirkan apa yang harus aku perbuat nanti.
Maaf Pak, hari ini aku tidak dapat berkonsentrasi dengan pelajaran yang bapak berikan!
Setengah jam berlalu. Pak Samsu masih menerangkan mata pelajarannya dengan tanggung jawabnya yang tinggi. Catatan pun telah diberikannya untuk kami salin dan kami pelajari. Tapi aku ingkar terhadap janjiku sebagai pelajar. Buku milikku masih kosong. Benar-benar kosong. Andai saja saat ini aku tengah berada di atas batu karang yang berhadapan dengan samudera bebas, aku akan berteriak sekeras mungkin. ARRRRRGH!!! Aku pusing. Aku bingung. Aku tak sanggup lagi berkata-kata.
***
WOW! Bel istirahat sudah berteriak dengan lantang. Mungkin ini adalah suara bel yang paling aku benci sepanjang hidupku. Mengapa jika kita mengharapkan agar waktu berjalan lambat, malah selalu terjadi sebaliknya. Aku benar-benar tidak bersemangat hari ini. Sepertinya hari ini, aku adalah manusia yang diselimuti ketakutan berlebih. Aku takut salah mengambil keputusan. Dan memang sudah jelas, aku menerima dan menolak Flury pun akan berbuntut pada satu kesalahan. Bagiku kedua pilihan ini tak ada yang patut dipilih. Kedua-duanya salah!
“Rhinooo…gimana?” tanya Flury yang tiba-tiba sudah ada dihadapanku.
“Flur, kita ke belakang perpus. Ngomonginnya disana,” kataku tegas.
Dengan tergesa, aku dan Flury pergi ke belakang perpustakaan yang merupakan sebuah lapangan kecil yang terurus dengan rapi. Sebelum sampai di tempat tujuan, Oh God, Venus ada di depan perpustakaan bersama Tania, teman satu kelasnya. Beberapa buku dipeluknya erat-erat. Aku harus megambil jalan lain untuk dapat menuju kesana, ke belakang perpustakaan. Dan akhirnya berhasil dengan sempurna.
“Sekarang mau Flury apa?” tanyaku sambil meredam kekasalan.
“Ih, masa Rhino gak ngerti-ngerti? Rhino harus terima Flury jadi pacar Rhino,” jawab Flury dengan nada manja dan kekanak-kanakan.
“Tapi Flury kan tahu kalo Rhino itu udah punya pacar. Ya Rhino gak bisa gitu aja nerima Flury jadi pacar Rhino,” tegasku.
“Ya udah, putusin aja si Venus!” kata Flury ketus.
“Ya enggak bisa semudah itu dong! Masa tanpa alesan  yang jelas tiba-tiba Rhino putusin Venus dan lagipula Rhino sayang sama dia.”
“Jadi Rhino gak sayang sama Flury?” tanyanya.
“Rhino juga sayang sama Flury.”
“Kalo Rhino sayang sama Venus dan juga Flury, udah aja Rhino pacaran sama dua-duanya.”
Aduh, Flury benar-benar tidak mengerti apa itu cinta! Mungkin ia menganggap cinta itu adalah sesuatu yang sangat mudah untuk dipaksakan. Dan cinta itu…just for fun! Ia tak mengerti apapun. Ia benar-benar anak manja yang polos, riang, dan agak rese.
“Kalo…Rhino gak terima Flury gimana?” tanyaku pelan.
“Apa?!” Flury membelalakan matanya.
“Eh…ini baru misalnya lho…”
“Ngapain Flury hidup? Rhino gak mau kan lihat Flury bunuh diri?”
Aku terdiam sejenak.
“Ya udah…Rhino terima Flury jadi pacar Rhino…” dengan terpaksa aku mengeluarkan pernyataan ini.
BRUUUK!!!
Tiba-tiba telingaku menangkap suara beberapa buku yang terjatuh. Aku menyebar pandanganku ke segala arah. Dan setelah aku tahu buku siapa tersebut, akupun terkejut. hah? Itu buku-buku Venus dan pemiliknya pun ada disana. Tanpa sepengetahuanku dan Flury, ternyata Venus sudah ada di belakangku. Hanya saja Venus terhalang tembok laboratorium yang bersebelahan dengan perpustakaan.
Aku dan Venus saling bertatapan. Kami terdiam. Begitu pun dengan Flury. Aku melihat Flury menatap wajah Venus dengan pandangan aneh. Entah apa itu?
“No, Flury ke kantin dulu ah, laper!” tanpa rasa bersalah, Flury berlari kecil meninggalkan aku dan Venus. “Hei Venus, awas lho gangguin pacar Flury!” katanya lagi.
Kini hanya tinggal aku dan Venus di sana. Kami masih saling bertatapan dalam diam. Aku tahu apa yang sedang Venus rasakan sekarang. Sakit, pasti itu yang sedang dirasakannya, tidak mungkin tidak. Tapi aku terpaksa. Aku terjebak dalam situasi yang sangat buruk.
Tak berselang lama, Venus memutar badannya dan melangkahkan kakinya menjauhiku. Aku berusaha mengejar. Kuraih lengan kirinya. Namun tanpa banyak basa-basi, Venus menghentakkan tangannya dengan tujuan agar genggaman tanganku lepas dari lengannya.
“Venus, aku bisa jelasin ini semua…” kataku penuh kekhawatiran.
“Apa yang mau dijelasin? Udah jelas kok. Aku udah lihat sendiri.”
“Itu gak kayak yang kamu kira. Sama sekali enggak!” kataku lagi mencoba meyakinkan.
“Kalo semuanya gak kayak yang aku kira, ya udah apa penjelasan kamu?” Venus mulai marah.
“Gini, sebenernya aku ngerasa berdosa banget atas keputusan ini…”
“Ya jelas lah! Ini berarti kamu udah ngekhianatin aku,” potong Venus. “Dengan alasan apapun ini gak bisa diterima!” katanya lagi.
“Ada! Ada satu alesan yang patut kamu terima. Keputusan ini adalah keputusan yang aku ambil dengan sangat-sangat terpaksa. Mungkin kamu gak akan pernah percaya kalo aku ceritain yang sebenernya, kenapa aku mau terima Flury?”
“Ya udah, to the point aja, maksudnya apa?” tanya Venus masih marah.
“Sebenernya keputusanku nerima Flury jadi pacarku cuman sandiwara belaka. Aku belom sempet cerita sama kamu bahwa sebelum ini Flury udah nembak aku 2 kali. Dan ini penembakan yang ketiga kalinya,” aku mulai menguak semuanya. “Tapi…sesuatu yang istimewa dari penembakan kali ini adalah ancaman!”
Venus mengangkat wajahnya yang sempat tertunduk. Pandangannya ia fokuskan ke dalam mataku. Garis dan lekukan di wajahnya jelas melukiskan keanehan, kebingungan, dan tanda tanya besar saat aku menyebutkan kata ‘ancaman’. Aku tak tahan bila harus mempertahankan wajah penasaran Venus waktu itu.
“Ancaman? Ancaman apa?” belum sempat aku berbicara, Venus sudah keburu menyerangku dengan pertanyaan.
“Kalo aku gak terima dia jadi pacarku, dia mau…bunuh diri!” kataku. Venus cukup terkejut mendengarnya. “Aku terpaksa ngambil keputusan ini buat nyelametin dia dari perbuatan nekatnya.”
“Bunuh diri?” tanya Venus seakan tak percaya. “Apa aku harus percaya sama omongan kamu?” tanyanya lagi.
“Tapi kenyataannya emang kayak gitu!” tegasku penuh keyakinan.
“Jadi sekarang gimana?”
“Uh…aku bingung!”
“Ya udah sekarang gini aja…” Venus menunda ucapannya sejenak. Dengan penuh pemikiran barulah ia berucap. “…putusin aku!”
Apa? Tak salah dengarkah aku? Venus memintaku agar aku memutuskan hubungannya denganku. Ia tak rela jika harus diduakan olehku. Apalagi orang aku pacari adalah Flury, seorang gadis manja yang tidak pernah bisa mandiri. Venus tak mau itu.
“Ven, aku gak mau putus…” ucapku memohon.
“Lalu?” tanya Venus.
“Aku janji hubunganku dengan Flury gak akan berlangsung lama. Cuman beberapa hari ini aja semua ini aku lakuin, setelah itu aku putusin dia!”
“Terus, kalo nanti dia nekat gimana?”
“Selama aku pacaran sama dia, aku akan cari caranya,” jawabku pelan.
“Oke, aku kasih kamu waktu tujuh hari aja buat jalan sama Flury, dan setelah itu kamu harus bener-bener putusin dia. Inget, hubungan kamu sama dia cuman sebatas sandiwara. Kalo kamu macem-macem dibelakangku, kita putus beneran. Dan satu hal lagi, kamu harus ngerahasiain ini semua dari siapapun,” ucap Venus menyetujui. Namun serentetan persyaratan pun mengalir bebas dari mulutnya.
***
Hari ini adalah hari keempat sejak aku menerima Flury jadi pacarku. Di hari ini pula sesuatu terjadi. Venus menemuiku di kelas saat jam istirahat. Ia membawa wajah marahnya sekaligus membawaku ke tempat yang agak sepi di sekolah.
“No, pokoknya kamu harus putusin Flury!” pinta Venus tiba-tiba.
“Hei kenapa? Bukannya perjanjian kita tujuh hari?” tanyaku heran.
“Aku malu! Temen-temen udah pada tahu semuanya. Si Flury sendiri yang bilang ke semua orang!” jelas Venus mengkhawatirkan.
“Aku janji besok aku putusin dia,” ucapku pelan. Aku meyakinkan Venus bahwa ucapanku benar adanya.
“Aku mau hari ini! Pokoknya hari ini, kalo enggak kita putus!” ucap Venus seraya meninggalkanku sendiri. Aku hanya bisa memandanginya dari belakang.
Oke…hari ini juga aku harus memenuhi desakan Venus…
***
Pelajaran hari ini telah usai. Aku pulang bersama pacar baruku, Flury. Ia terlihat lain hari ini. Dia nampak lebih cantik dari hari-hari kemarin. Dan keceriaan yang sangat luar biasa merangkul tubuhnya. Padahal beberpa menit yang akan datang, mungkin keceriaan itu akan hilang dalam sekejap saat ia mendengar pernyataanku.
Entah kenapa hari ini aku ingin terus dan terus memandanginya. Ia benar-benar cantik. Meskipun aku sudah berusaha megalihkan pandanganku darinya, namun tetap saja alat penglihatanku selalu tertuju kembali padanya. Sampai-sampai terbersit dalam benakku untuk membatalkan rencanaku. Melihat wajahnya, aku benar-benar tak tega.
Kami berhenti di depan jalan raya dan berdiri diatas trotoar untuk menunggu mobil angkutan kota yang datang. Aku tahu sekarang adalah saat yang tepat untuk menjalankan rencanaku terhadap Flury. Tapi ketakutan melandaku secara tiba-tiba. Aku bukan takut sulit berkata-kata, tapi aku takut melihat reaksi Flury saat aku mengeluarkan ucapanku. Sementara saat ini Flury belum juga mau melepaskan keceriaan itu dari wajahnya. Meskipun demikian, aku harus tetap menjalankan rencanaku. Aku menarik nafasku dalam-dalam dan mulai membuka mulutku untuk berbicara.
“Flur…”
“Eh No, itu di seberang ada loper koran, Flury mau beli majalah dulu ah!” seru Flury memotong ucapanku.
Uh gagal! Tapi belum untuk yang kedua kalinya. Masih ada waktu, semoga.
Aku hanya bisa memandangi Flury yang antusias menyeberangi jalan untuk membeli majalah. Flury tampak begitu riang meskipun beberapa saat lagi aku akan bertindak sesuatu yang tidak menyenangkan terhadap dirinya. Namun tiba-tiba sesuatu yang di luar dugaan terjadi. Saat itu Flury kurang berkonsentrasi pada jalanan. Saat itu tiba-tiba sebuah truk menghempaskan tubuhnya dengan sangat keras, sehingga tubuh Flury terpental beberapa meter ke depan dari tempat asalnya. Aku kaget dan panik. Dengan cepat aku mendekati tubuh Flury yang tergeletak lemah di tengah jalan. Aku tak peduli dengan banyaknya mobil-mobil yangberseliweran di sekitarku. Aku hanya mengkhawatirkan Flury. Dia adik kecilku.
Tak pernah aku duga sebelumnya, sungai kecil telah mengalir deras di pipiku. Aku tak kuasa melihat wajah Flury yang semenit lalu memancarkan keceriaan, kini harus terdiam kaku dan berlumuran darah di kepala dan beberapa bagian tubuhnya yang lain. Aku benar-benar tak kuasa.
“FLUUURY!!!”
***
Aku duduk dan termenung di kursi Rumah Sakit. Pikiranku menerawang jauh. Saat ini aku hanya bisa menunggu kehadirang Venus yang akan berjanji akan datang secepatnya. Dan akhirnya dia datang setengah jam kemudian sejak aku hubungi ponselnya.
“No, kamu ngapain nelpon dan nyuruh aku dateng ke sini? Siapa yang sakit?” tanya Venus sesaat setelah ia ada di hadapanku. Lalu ia pun duduk di sampingku.
“Flury…”
“Flury sakit?”
“Enggak…dia udah…pergi…” jawabku lemah. Venus terkejut mendengarnya. “Tadi siang dia ketabrak truk…”
Venus tak berkata-kata. Meskipun Venus membenci sikap Flury, namun sekarang aku tak melihat itu semua. Aku menangkap ada rasa duka di hatinya. Sama seperti aku, tak bisa menyembunyikan kesedihanku.
Kini Flury telah tiada. Tak ada lagi yang merintangi cintaku dengan Venus. Meskipun aku tak pernah tahu, atas kematian Flury, aku harus bersedih atau berbahagia. Namun satu hal yang pasti, dengan atau tanpa adanya Flury, cintaku dan Venus akan terus kupertahankan.
***
12 April 2005

Follow twitter saya di