7 HARI
“Hei,
bangun!”
Mungkin kalimat kolaborasi itu yang akan aku dengar
jika jam dinding, weker, serta baju yang kugantung di belakang pintu bisa
berbicara. Tapi ini dunia nyata. Hanya suara ibu yang terdengar, yang selalu
membuatku membuka mata di awal aktivitasku beberapa hari ini. Itupun karena
dalam beberapa hari ini aku selalu lupa menyalakan alarm pada jam wekerku.
Dengan lekas kunyalakan lampu. Uh…cahayanya merasuk
kasar ke dalam bola mataku. Aku bangkit dari pembaringan dan langsung terduduk.
Lalu kuperhatikan keadaan kamar, masih sama seperti pada saat aku tinggal tidur
tadi malam.
Pagi ini masih terasa sangat sejuk. Seharusnya udara
sejuk inilah yang bias membuatku terlebih otakku untuk kembali segar dan siap
menjalankan aktivitas hari ini dengan baik. Namun entah mengapa udara segar
hari ini tak membuatku seperti itu. Udara sejuk kali ini bukannya membuatku
bersemangat melihat ke depan, tapi malah membuatku teringat pada peristiwa
kemarin.
Kemarin adalah hari yang menjembataniku pada
kesulitan-kesulitan yang melelahkan. Kesulitan-kesulitan yang juga
membingungkan. Kemarin Flury nembak aku lagi untuk yang ketiga kalinya. Ia
sangat tidak puas jika status hubungannya denganku hanya sebatas sahabat,
meskipun ini cara terbaik untuk kami berdua. Aku sangat menyayangkan
keputusannya yang selalu mendesakku agar aku menerima cintanya. Jujur saja saat
ini bahkan mungkin untuk haru-hari selanjutnya, aku tak pernah memiliki
perasaan yang istimewa padanya seperti yang ia rasakan terhadapku. Aku hanya
menganggapnya sebagai seorang adik, tak lebih. Karena Flury lebih muda 5 bulan
dariku. Sehingga aku sering memanjakan dia layaknya seorang kakak terhadap
adiknya.
Satu hal yang membuatku sangat kebingunan adalah
Flury merupakan seorang gadis manja yang nekat melakukan apapun untuk
mendapatkan apa yang dia inginkan. Kali ini dia nembak aku dengan menyertai
sebuah ancaman andaikan aku tidak menerima cintanya. Dia mengeluarkan ancaman
akan bunuh diri! Oo…sebegitu besarnyakah cintanya terhadapku? Lalu mau di kemanakan
hubunganku dengan Venus yang baru seminggu ini terjalin? Uuuh…aku super
bingung! Otakku dipenuhi berbagai macam pemikiran yang tak berguna di pagi ini.
Pagi yang seharusnya menjadi penyejuk kegelisahanku atas kejadian-kejadian
kemarin atau kemarin lusa.
***
Aku tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Lalu
aku masuk kelas dengan sejuta kegundahanku. Ternyata aku adalah orang pertama
yang hadir di kelas. Tas gendong hitam kesayanganku kubanting keatas meja
seperti mengisyaratkan pada dunia bahwa…”Hai…inilah
seorang Rhino yang sedang mengalami kebingungan mendalam!”
Aku duduk dan kembali memikirkan apa yang harus aku
lakukan terhadap tawaran Flury nanti. Namun sebelum aku sempat berpikir lebih
jauh, si nona pembuat pusing sudah dating dengan sejuta senyum yang sama sekali
tidak aku suka.
“Hai…Rhino!” sapa Flury sambil mendekatiku dan duduk
di sebelahku.
Meskipun malas, aku tetap berusaha menghargai
sapaannya. “Hai…”
“Rhino…tawaran Flury udah Rhino pikirin baik-baik
kan? Dan jawabannya pasti iya kan? Ayolah, No!” desak Flury. Kedua tangannya
mencengkeram kedua lenganku.
“Flur, Rhino bukannya gak mau jadi pacar Flury,
tapi…”
“Tapi apa, No?” potong Flury.
“Venus!” jawabku singkat.
“Huh…dia lagi dia lagi. Emangnya Flury pikirin! Yang
pasti sekarang Flury mau Rhino jadi pacar Flury, titik!”
Aku menatap wajah Flury dengan tajam. Keteraturan
nafasku semakin menjauhi normal. Lalu aku memandangi keadaan sekitar. Makin
lama makin banyak orang yang hadir di kelas. Apalagi jam dengan lingkar biru
yang bertengger di dinding kelasku mengarahkan jarum panjangnya ke angka 12,
itu berarti pukul tujuh tiba sudah. Apa yang harus aku lakukan? Menerima cinta
Flury atau menerima akibat dari penolakanku?
Mulut, hati, dan pikiran ini terasa tersendat
menghadapi sesuatu yang harus aku hadapi sekarang. Aku masih belum mau membuka
mulutku dan mengeluarkan pernyataan.
Tapi Flury masih saja terus dan terus mendesakku. Lenganku diguncangkannya
keras-keras sebagai tanda ketidaksabarannya. Namun sebelum satu kalimat keluar
dari mulutku, guru Fisika keburu datang dengan langkah berwibawanya.
“Flur, ada Pak Samsu. Ngomongnya dilanjutin aja
nanti ya, pas jam istirahat,” kataku dengan suara rendah namun cepat.
Flury menyingkir dari mejaku. Tak ada jawaban yang
keluar dari mulutnya. Namun dari wajahnya, aku melihat ada guratan kekesalan
padanya atas kejadian ini. Tidak sepertiku yang sedikit lega atas kehadiran
sang guru Fisika. Seridaknya aku masih punya waktu beberapa jam untuk kembali
menelaah dan memikirkan apa yang harus aku perbuat nanti.
Maaf Pak, hari
ini aku tidak dapat berkonsentrasi dengan pelajaran yang bapak berikan!
Setengah jam berlalu. Pak Samsu masih menerangkan
mata pelajarannya dengan tanggung jawabnya yang tinggi. Catatan pun telah
diberikannya untuk kami salin dan kami pelajari. Tapi aku ingkar terhadap
janjiku sebagai pelajar. Buku milikku masih kosong. Benar-benar kosong. Andai
saja saat ini aku tengah berada di atas batu karang yang berhadapan dengan
samudera bebas, aku akan berteriak sekeras mungkin. ARRRRRGH!!! Aku pusing. Aku
bingung. Aku tak sanggup lagi berkata-kata.
***
WOW! Bel istirahat sudah berteriak dengan lantang.
Mungkin ini adalah suara bel yang paling aku benci sepanjang hidupku. Mengapa
jika kita mengharapkan agar waktu berjalan lambat, malah selalu terjadi sebaliknya.
Aku benar-benar tidak bersemangat hari ini. Sepertinya hari ini, aku adalah
manusia yang diselimuti ketakutan berlebih. Aku takut salah mengambil
keputusan. Dan memang sudah jelas, aku menerima dan menolak Flury pun akan
berbuntut pada satu kesalahan. Bagiku kedua pilihan ini tak ada yang patut
dipilih. Kedua-duanya salah!
“Rhinooo…gimana?” tanya Flury yang tiba-tiba sudah
ada dihadapanku.
“Flur, kita ke belakang perpus. Ngomonginnya
disana,” kataku tegas.
Dengan tergesa, aku dan Flury pergi ke belakang
perpustakaan yang merupakan sebuah lapangan kecil yang terurus dengan rapi.
Sebelum sampai di tempat tujuan, Oh God,
Venus ada di depan perpustakaan bersama Tania, teman satu kelasnya. Beberapa
buku dipeluknya erat-erat. Aku harus megambil jalan lain untuk dapat menuju
kesana, ke belakang perpustakaan. Dan akhirnya berhasil dengan sempurna.
“Sekarang mau Flury apa?” tanyaku sambil meredam
kekasalan.
“Ih, masa Rhino gak ngerti-ngerti? Rhino harus
terima Flury jadi pacar Rhino,” jawab Flury dengan nada manja dan
kekanak-kanakan.
“Tapi Flury kan tahu kalo Rhino itu udah punya
pacar. Ya Rhino gak bisa gitu aja nerima Flury jadi pacar Rhino,” tegasku.
“Ya udah, putusin aja si Venus!” kata Flury ketus.
“Ya enggak bisa semudah itu dong! Masa tanpa alesan yang jelas tiba-tiba Rhino putusin Venus dan
lagipula Rhino sayang sama dia.”
“Jadi Rhino gak sayang sama Flury?” tanyanya.
“Rhino juga sayang sama Flury.”
“Kalo Rhino sayang sama Venus dan juga Flury, udah
aja Rhino pacaran sama dua-duanya.”
Aduh, Flury benar-benar tidak mengerti apa itu
cinta! Mungkin ia menganggap cinta itu adalah sesuatu yang sangat mudah untuk
dipaksakan. Dan cinta itu…just for fun!
Ia tak mengerti apapun. Ia benar-benar anak manja yang polos, riang, dan agak
rese.
“Kalo…Rhino gak terima Flury gimana?” tanyaku pelan.
“Apa?!” Flury membelalakan matanya.
“Eh…ini baru misalnya lho…”
“Ngapain Flury hidup? Rhino gak mau kan lihat Flury
bunuh diri?”
Aku terdiam sejenak.
“Ya udah…Rhino terima Flury jadi pacar Rhino…”
dengan terpaksa aku mengeluarkan pernyataan ini.
BRUUUK!!!
Tiba-tiba telingaku menangkap suara beberapa buku
yang terjatuh. Aku menyebar pandanganku ke segala arah. Dan setelah aku tahu
buku siapa tersebut, akupun terkejut. hah? Itu buku-buku Venus dan pemiliknya
pun ada disana. Tanpa sepengetahuanku dan Flury, ternyata Venus sudah ada di
belakangku. Hanya saja Venus terhalang tembok laboratorium yang bersebelahan
dengan perpustakaan.
Aku dan Venus saling bertatapan. Kami terdiam.
Begitu pun dengan Flury. Aku melihat Flury menatap wajah Venus dengan pandangan
aneh. Entah apa itu?
“No, Flury ke kantin dulu ah, laper!” tanpa rasa
bersalah, Flury berlari kecil meninggalkan aku dan Venus. “Hei Venus, awas lho
gangguin pacar Flury!” katanya lagi.
Kini hanya tinggal aku dan Venus di sana. Kami masih
saling bertatapan dalam diam. Aku tahu apa yang sedang Venus rasakan sekarang.
Sakit, pasti itu yang sedang dirasakannya, tidak mungkin tidak. Tapi aku
terpaksa. Aku terjebak dalam situasi yang sangat buruk.
Tak berselang lama, Venus memutar badannya dan
melangkahkan kakinya menjauhiku. Aku berusaha mengejar. Kuraih lengan kirinya.
Namun tanpa banyak basa-basi, Venus menghentakkan tangannya dengan tujuan agar
genggaman tanganku lepas dari lengannya.
“Venus, aku bisa jelasin ini semua…” kataku penuh kekhawatiran.
“Apa yang mau dijelasin? Udah jelas kok. Aku udah
lihat sendiri.”
“Itu gak kayak yang kamu kira. Sama sekali enggak!”
kataku lagi mencoba meyakinkan.
“Kalo semuanya gak kayak yang aku kira, ya udah apa
penjelasan kamu?” Venus mulai marah.
“Gini, sebenernya aku ngerasa berdosa banget atas
keputusan ini…”
“Ya jelas lah! Ini berarti kamu udah ngekhianatin
aku,” potong Venus. “Dengan alasan apapun ini gak bisa diterima!” katanya lagi.
“Ada! Ada satu alesan yang patut kamu terima.
Keputusan ini adalah keputusan yang aku ambil dengan sangat-sangat terpaksa.
Mungkin kamu gak akan pernah percaya kalo aku ceritain yang sebenernya, kenapa
aku mau terima Flury?”
“Ya udah, to
the point aja, maksudnya apa?” tanya Venus masih marah.
“Sebenernya keputusanku nerima Flury jadi pacarku
cuman sandiwara belaka. Aku belom sempet cerita sama kamu bahwa sebelum ini
Flury udah nembak aku 2 kali. Dan ini penembakan yang ketiga kalinya,” aku
mulai menguak semuanya. “Tapi…sesuatu yang istimewa dari penembakan kali ini
adalah ancaman!”
Venus mengangkat wajahnya yang sempat tertunduk.
Pandangannya ia fokuskan ke dalam mataku. Garis dan lekukan di wajahnya jelas
melukiskan keanehan, kebingungan, dan tanda tanya besar saat aku menyebutkan
kata ‘ancaman’. Aku tak tahan bila harus mempertahankan wajah penasaran Venus
waktu itu.
“Ancaman? Ancaman apa?” belum sempat aku berbicara,
Venus sudah keburu menyerangku dengan pertanyaan.
“Kalo aku gak terima dia jadi pacarku, dia mau…bunuh
diri!” kataku. Venus cukup terkejut mendengarnya. “Aku terpaksa ngambil
keputusan ini buat nyelametin dia dari perbuatan nekatnya.”
“Bunuh diri?” tanya Venus seakan tak percaya. “Apa
aku harus percaya sama omongan kamu?” tanyanya lagi.
“Tapi kenyataannya emang kayak gitu!” tegasku penuh
keyakinan.
“Jadi sekarang gimana?”
“Uh…aku bingung!”
“Ya udah sekarang gini aja…” Venus menunda ucapannya
sejenak. Dengan penuh pemikiran barulah ia berucap. “…putusin aku!”
Apa? Tak salah dengarkah aku? Venus memintaku agar
aku memutuskan hubungannya denganku. Ia tak rela jika harus diduakan olehku. Apalagi
orang aku pacari adalah Flury, seorang gadis manja yang tidak pernah bisa
mandiri. Venus tak mau itu.
“Ven, aku gak mau putus…” ucapku memohon.
“Lalu?” tanya Venus.
“Aku janji hubunganku dengan Flury gak akan berlangsung
lama. Cuman beberapa hari ini aja semua ini aku lakuin, setelah itu aku putusin
dia!”
“Terus, kalo nanti dia nekat gimana?”
“Selama aku pacaran sama dia, aku akan cari
caranya,” jawabku pelan.
“Oke, aku kasih kamu waktu tujuh hari aja buat jalan
sama Flury, dan setelah itu kamu harus bener-bener putusin dia. Inget, hubungan
kamu sama dia cuman sebatas sandiwara. Kalo kamu macem-macem dibelakangku, kita
putus beneran. Dan satu hal lagi, kamu harus ngerahasiain ini semua dari
siapapun,” ucap Venus menyetujui. Namun serentetan persyaratan pun mengalir
bebas dari mulutnya.
***
Hari ini adalah hari keempat sejak aku menerima
Flury jadi pacarku. Di hari ini pula sesuatu terjadi. Venus menemuiku di kelas
saat jam istirahat. Ia membawa wajah marahnya sekaligus membawaku ke tempat
yang agak sepi di sekolah.
“No, pokoknya kamu harus putusin Flury!” pinta Venus
tiba-tiba.
“Hei kenapa? Bukannya perjanjian kita tujuh hari?”
tanyaku heran.
“Aku malu! Temen-temen udah pada tahu semuanya. Si
Flury sendiri yang bilang ke semua orang!” jelas Venus mengkhawatirkan.
“Aku janji besok aku putusin dia,” ucapku pelan. Aku
meyakinkan Venus bahwa ucapanku benar adanya.
“Aku mau hari ini! Pokoknya hari ini, kalo enggak
kita putus!” ucap Venus seraya meninggalkanku sendiri. Aku hanya bisa
memandanginya dari belakang.
Oke…hari ini juga aku harus memenuhi desakan Venus…
***
Pelajaran hari ini telah usai. Aku pulang bersama
pacar baruku, Flury. Ia terlihat lain hari ini. Dia nampak lebih cantik dari
hari-hari kemarin. Dan keceriaan yang sangat luar biasa merangkul tubuhnya.
Padahal beberpa menit yang akan datang, mungkin keceriaan itu akan hilang dalam
sekejap saat ia mendengar pernyataanku.
Entah kenapa hari ini aku ingin terus dan terus
memandanginya. Ia benar-benar cantik. Meskipun aku sudah berusaha megalihkan
pandanganku darinya, namun tetap saja alat penglihatanku selalu tertuju kembali
padanya. Sampai-sampai terbersit dalam benakku untuk membatalkan rencanaku.
Melihat wajahnya, aku benar-benar tak tega.
Kami berhenti di depan jalan raya dan berdiri diatas
trotoar untuk menunggu mobil angkutan kota yang datang. Aku tahu sekarang
adalah saat yang tepat untuk menjalankan rencanaku terhadap Flury. Tapi
ketakutan melandaku secara tiba-tiba. Aku bukan takut sulit berkata-kata, tapi
aku takut melihat reaksi Flury saat aku mengeluarkan ucapanku. Sementara saat
ini Flury belum juga mau melepaskan keceriaan itu dari wajahnya. Meskipun
demikian, aku harus tetap menjalankan rencanaku. Aku menarik nafasku
dalam-dalam dan mulai membuka mulutku untuk berbicara.
“Flur…”
“Eh No, itu di seberang ada loper koran, Flury mau
beli majalah dulu ah!” seru Flury memotong ucapanku.
Uh gagal! Tapi belum untuk yang kedua kalinya. Masih
ada waktu, semoga.
Aku hanya bisa memandangi Flury yang antusias
menyeberangi jalan untuk membeli majalah. Flury tampak begitu riang meskipun
beberapa saat lagi aku akan bertindak sesuatu yang tidak menyenangkan terhadap
dirinya. Namun tiba-tiba sesuatu yang di luar dugaan terjadi. Saat itu Flury
kurang berkonsentrasi pada jalanan. Saat itu tiba-tiba sebuah truk
menghempaskan tubuhnya dengan sangat keras, sehingga tubuh Flury terpental
beberapa meter ke depan dari tempat asalnya. Aku kaget dan panik. Dengan cepat
aku mendekati tubuh Flury yang tergeletak lemah di tengah jalan. Aku tak peduli
dengan banyaknya mobil-mobil yangberseliweran di sekitarku. Aku hanya
mengkhawatirkan Flury. Dia adik kecilku.
Tak pernah aku duga sebelumnya, sungai kecil telah
mengalir deras di pipiku. Aku tak kuasa melihat wajah Flury yang semenit lalu
memancarkan keceriaan, kini harus terdiam kaku dan berlumuran darah di kepala
dan beberapa bagian tubuhnya yang lain. Aku benar-benar tak kuasa.
“FLUUURY!!!”
***
Aku duduk dan termenung di kursi Rumah Sakit.
Pikiranku menerawang jauh. Saat ini aku hanya bisa menunggu kehadirang Venus
yang akan berjanji akan datang secepatnya. Dan akhirnya dia datang setengah jam
kemudian sejak aku hubungi ponselnya.
“No, kamu ngapain nelpon dan nyuruh aku dateng ke
sini? Siapa yang sakit?” tanya Venus sesaat setelah ia ada di hadapanku. Lalu
ia pun duduk di sampingku.
“Flury…”
“Flury sakit?”
“Enggak…dia udah…pergi…” jawabku lemah. Venus
terkejut mendengarnya. “Tadi siang dia ketabrak truk…”
Venus tak berkata-kata. Meskipun Venus membenci
sikap Flury, namun sekarang aku tak melihat itu semua. Aku menangkap ada rasa
duka di hatinya. Sama seperti aku, tak bisa menyembunyikan kesedihanku.
Kini Flury telah tiada. Tak ada lagi yang merintangi
cintaku dengan Venus. Meskipun aku tak pernah tahu, atas kematian Flury, aku
harus bersedih atau berbahagia. Namun satu hal yang pasti, dengan atau tanpa
adanya Flury, cintaku dan Venus akan terus kupertahankan.
***
12
April 2005
Follow twitter saya di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar