AWAS, CINTA!
Pagi-pagi sekali Cheryl
sudah berada di depan cermin. Sisir warna birunya dipaksa untuk menjalankan
tugasnya dalam merapikan rambutnya yang kurang terawat. Lalu setelah rambut
panjang itu ia rasa sudah rapi, matanya memandangi barisan alat make up
pemberian sang mama yang terjejer rapi di meja riasnya. Dipandanginya satu-satu
alat-alat make up tersebut. Sejenak gadis tomboy itu berpikir.
Buat apa sih mama beliin aku
benda-benda kayak ginian? Berfungsi buat apaan juga gue gak tahu? Satu-satunya
yang gue tahu cuman satu, Lipstick!
Tak lama setelah berpikir,
tiba-tiba tangan Cheryl tergerak untuk mengambil lipstik. Dibukanya tutup benda
yang kini ada di tangannya. Dipandanginya lagi benda itu lekat-lekat. Lalu
tanpa terkomando siapapun, ujung benda berwarna merah muda itu mulai ia
goreskan ke bibirnya yang mungil. Namun tak seperti gadis kebanyakan, Cheryl
belum terbiasa dengan benda yang seharusnya bisa membuatnya kelihatan tambah
cantik itu. Ia malah membuat bibirnya terlihat tambah besar dan aneh. Itu
terjadi karena ia tak menghargai ciptaan Tuhan yang telah memberikan garis
pembatas di bibirnya. Ya, Cheryl memakai lipstik tersebut di luar batas
bibirnya. Perlahan ia menatap wajahnya di cermin.
“Masya Allah, bibir gue
kenapa tuh? Kok jadi dower gini?!” serunya sambil cepat-cepat menghapus lukisan
di bibirnya dengan tissue. “Huh, katanya lipstik bisa bikin cewek jadi tambah
cantik, tapi buktinya…” kata Cheryl lagi sambil membuang lipstik itu ke
keranjang sampah. Cheryl menatap cermin lagi. “Nah…tanpa make up, kayaknya gue
kelihatan lebih cantik tuh hehehe…”
Cheryl menyambar tas
selempangnya. Lalu digantungkannya di bahu kirinya. Ia pun kembali berkaca.
Rambut sudah rapi. Kaos keren. Jeans bagus. Sepatu sport oke. Setelah semua
dirasa lengkap, ia pun keluar dari kamarnya dan berjalan cepat menuju meja
makan. Disana ia langsung disambut oleh kedua orang tuanya.
“Cheryl, ayo sarapan dulu!”
titah sang mama yang sedang mengoles selai kacang ke rotinya.
“Enggak deh ma, aku mau
langsung berangkat aja,” jawab Cheryl sambil mencium pipi kanan sang mama.
“Sebelum pergi ke kampus
kamu harus sarapan lho,” kata sang mama lagi.
“Hm, enggak ah, Nara udah
nungguin tuh di depan…” jawab Cheryl lagi kali ini giliran papanya yang
mendapat ciuman di pipinya.
“Nara anak cowok yang
rumahnya di perkampungan belakang komplek kita itu? Yang anak si ibu penjual
gado-gado itu?” tanya sang mama. Cheryl mengangguk. “Ya udah kalo gak mau
sarapan, minum susunya!” titah sang mama semakin menggila. Suaranya pun agak di
keraskannya.
“Ma, mama nawarin aku minum
susu? Harusnya mama nawarin itu 15 tahun yang lalu…”
“Huh, nih anak kalo
dibilangin sama orang tua. Ya udah sekarang kamu mau di anterin sama Mang Uus
atau bareng sama papa?” sang mama bertanya kembali.
“Nggak kedua-duanya. Aku mau
bareng sama Nara aja naek bus,” jawab sang anak.
“Tapi naek bus itu gak aman
lho, juga gak nyaman.”
“Nara bisa buat aku lebih
aman dan nyaman naek bus, ketimbang dianterin Mang Uus atau naek mobil papa
yang ber-AC itu,” jawab Cheryl sembari berjalan menjauhi mereka. “Udah ah,
kasian Nara kelamaan nunggu. Dah ma, pa!” Cheryl pun lenyap daripandangan
mereka.
Sang mama melirik suaminya.
“Anak kamu tuh!” seru mama.
“Ya anak kamu juga, kita kan
bikinnya berdua!”
***
“Dua menit…”
“Iya gue tahu telat dua
menit…”
“Lebih tiga puluh dua
detik…”
“Iya deh terserah lo! Yang
pasti kita mo kemana nih? Sekarang kan masih pagi, kita juga gak ada kuliah,
terus?” tanya Cheryl pada Nara. Sesekali hatinya berbicara sendirian, tambah
ganteng aja hari ini lo Nar! Dan seharusnya Cheryl tahu bahwa dalam hatinya,
Nara lebih sering berkata, kenapa sih kadar kecantikan lo tiap hari harus terus
bertambah Cher?
“Gimana kalo kita ke
kampusnya gak naek bus? Kita balap lari dari sini sampe kampus?” usul Nara.
“Heh? Jadi lo nyuruh gue
bangun pagi-pagi cuman buat balapan lari nyampe kampus?” tanya Cheryl sambil
membelalakan matanya.
“Kenapa? Takut?”
“Woeeei, siapa yang takut
bos! Oke siapa yang kalah dia harus telanjang di taman kampus!” usul Cheryl.
Nara menganga lebar.
“Telanjang?”
“Kenapa? Takut?” kini
giliran Cheryl yang menantang.
“Oke! Kita start disini!
Bersedia, siap, …” Nara menirukan aba-aba guru olahraganya waktu dia masih SD.
Keduanya pun mencondongkan
badannya ke depan sambil sesekali saling berpandangan. “MULAI!!!”
Nara dan Cheryl langsung
berlari sekuat tenaga di trotoar. Mereka tak peduli dengan hiruk pikuk yang
terjadi disana. Perbedaan gender memang terlihat di sana. Nara berada jauh
memimpin di depan Cheryl. Sambil sesekali memandang ke arah belakang, Nara
tersenyum puas melihat Cheryl yang tertinggal di belakangnya.
“Siap-siap aja telanjang!”
seru Nara sambil tertawa.
Cheryl mulai kelelahan.
Nafasnya terengah-engah. Dan tiba-tiba ia terjatuh.
“Aduh!” teriaknya.
Nara yang dengan jelas melihat
kejadian itu langsung kaget dan berlari berbalik arah. Ia langsung menghampiri
Cheryl dengan wajah cemas.
“Cher, lo gak kenapa-napa?”
tanya Nara dengan penuh kekhawatiran.
“Hm, kayaknya tulang gue
patah. Tapi yang paling gue khawatirin adalah gelang gue, kayaknya jatoh
disana,” terang Cheryl sambil menunjuk jauh ke arah belakang, tempat yang baru
saja mereka lalui.
“Gelang? Kok gue gak liat lo
pake gelang ya tadi? Tapi ya udah, gue bakal cariin gelang lo,” ucap Nara
sambil berjalan ke tempat yang beberapa menit lalu baru saja di laluinya.
Setelah merasa jarak Nara
cukup jauh darinya, Cheryl mulai bangkit dari duduknya. Ia berdiri dan kemudian
berlari sekencang-kencangnya sambil tertawa puas.
“Nara, mata lo gak salah!
Emang sebenernya gue gak pernah pake gelang! Hahaha…” teriak Cheryl yang masih
belum mau melepas tawanya. Ia terus berlari sekuat tenaga.
Nara mengarahkan pandangannya ke arah Cheryl. Ia terkejut dengan apa yang telah
dilihatnya.
“Sialan lo Cher, mo maen
curang ma gue?!” teriak Nara yang langsung menyusul Cheryl.
***
Bangku taman yang sedikit
cat-nya sudah mengelupas. Pohon-pohon rindang. Para mahasiswa yang berjalan
hilir mudik. Suasana kampus hari itu nampak sama seperti hari-hari sebelumnya.
Yang sedikit membuatnya berbeda adalah adanya sepasang pria dan wanita yang
nampak kelelahan saat memasuki area kampus. Dengan sabar si pria menggendong si
wanita di belakang punggungnya. Si pria pun membawa si wanita duduk di bangku
taman.
“Heh…heh…nyesel ngajak lo
balapan lari Cher!” ucap Nara di tengah nafasnya yang terengah-engah akibat
kelelahan.
“Salah sendiri!” sahut
Cheryl. Perlahan ia terdiam. “Sebenernya gue jadi ngerasa bersalah. Udah jelas
banget kan gue yang kalah, udah curang tetep aja gue kesusul sama lo. Jadi apa
sekarang gue harus telanjang?” tanya Cheryl dengan wajah sedih. “Kalo gue
telanjang, apa kata orang tentang harga diri gue?”
Nara tersenyum. “Ya enggak gitu juga kali Cher. Tadi kan kita cuman becandaan
doang. Lo gak harus bener-bener ngelakuin itu!” Nara mencoba menenangkan.
“Gue punya prinsip Nar, kalo
segala sesuatu itu punya konsekuensi masing-masing jadi mau gak mau gue harus
ngelakuin perjanjian kita. Intinya kan di perjanjian ini harus ada yang dihukum
di antara kita, jadi kalo gak lo ya berarti gue.”
“Kalo gak lo berarti gue?
Oke gini aja, lo gak usah ngelakuin hal itu, biar gue aja gimana?” ucap Nara
penuh keyakinan. Ia berusaha untuk menghapus kesedihan sahabatnya itu.
“Elo?” tanya Cheryl. Nara
mengangguk. “Disini?” tanya Cheryl lagi. Nara mengangguk lagi. “Ya udah
terserah.”
Dengan diawali tarikan nafas
yang panjang, Nara mulai membuka kaos putihnya. Ia pun menguatkan mentalnya
saat ia sudah bertelanjang dada di tempat seterbuka taman kampus. Kembali ia
menarik nafasnya dalam-dalam, saat ia mulai melepas ikat pinggangnya. Namun
baru beberapa senti ia menurunkan jeans-nya, Cheryl langsung berteriak.
“Woi, ada orang gila!”
sontak semua yang ada di sana langsung mengarahkan pandangannya ke arah Nara.
Dan mereka pun serentak menertawainya.
Nara yang kala itu kaget dan panik langsung memelototi Cheryl yang telah
mengerjainya untuk yang kedua kalinya. Cheryl yang sudah tahu akan terjadi
sesuatu terhadap dirinya, langsung kabur sambil tertawa terbahak-bahak.
“CHERYL!!! KURANG AJAR
LO!!!” teriak Nara sambil berusaha mengejar Cheryl dengan bertelanjang dada dan
jeans-nya yang dipeganginya karena hampir melorot.
“Dua kosong, Nar!”
***
Kamar tidur. Cheryl
merebahkan badannya di bantal yang ia tegakkan di belakang badannya. Tangannya
memegang satu novel terjemahan yang saat itu tengah dibacanya. Serius sekali ia
ketika itu. Sampai suatu ketika sang mama terduduk di ranjangnya yang ternyata
membuatnya terkaget.
“Astagfirullah! Mama!
Ngagetin aja,” seru Cheryl yang langsung membalik novel itu dan menaruhnya di
ranjang agar halaman yang sedang ia baca tidak tertutup. Sang mama hanya
tersenyum. “Ada apa, Ma?”
“Mama cuman mau ngasih tahu
ke kamu kalo nanti anak temen papa kamu mau dateng hari ini, dia baru pulang
dari New York kemarin,” ucap sang mama.
“Siapa?”
“Andi! Kamu masih inget
kan?”
“Lalu?”
“Kamu masih inget kan kalo
mama bilang Andi pulang ke Indonesia berarti…”
Cheryl mengerutkan wajahnya.
Tampak kemuraman luar biasa ketika itu. “Aku harus cepet-cepet kawin sama dia?”
“Ya gak secepat itu juga
Cher. Kalian tunangan dulu lah,” jawab sang mama.
“Tapi tetap aja ma, judulnya
itu aku dijodohin sama dia. Kayaknya aku udah bilang sejuta kali deh kalo aku
itu gak suka sama Andi. Terserah dia mau lulusan luar negeri kek, orang kaya
kek, yang pasti aku gak mau dijodoh-jodohin apalagi aku masih punya…”
“Nara? Siapa sih Nara? Pacar
kamu juga bukan.”
“Tapi dia lebih dari itu,
dia sahabat aku yang paling bisa ngertiin aku!” Cheryl mengakhiri perdebatannya
dengan sang mama. Ia langsung keluar dari kamarnya dan berlari menuju ruang
tamu untuk segera keluar dari rumahnya. Sesaat setelah ia berada di halaman
rumahnya, satu mobil mewah memasuki area tersebut. Cheryl terdiam sejenak. Ia
penasaran siapa orang ada di balik mobil mewah tersebut. Tak lama pintu mobil
pun terbuka dan keluarlah Andi. Sedetik setelah melihat satu sosok yang baru
saja keluar dari mobil tersebut, wajah Cheryl langsung cemberut dan nampak
kesal.
“Hai, Cheryl udah lama kita
gak kete…” Andi tak melanjutkan kalimatnya. Karena saat itu Cheryl tak memberi
kesempatan kepada Andi untuk menyapanya.
Dengan langkah yang
terburu-buru, Cheryl langsung keluar dari halaman rumahnya dan berjalan cepat
menuju kampung yang berada di belakang kompleknya. Ia melangkahkan kakinya
menuju rumah Nara. Namun sebelum ia benar-benar tiba di rumah Nara, hatinya
jengkel saat melihat Nara tengah duduk berdua dengan seorang gadis di sebuah
saung yang berada tak jauh dari rumahnya. Cheryl yang awalnya sudah jengkel
dengan sikap mamanya tambah jengkel lagi saat ia melihat Nara. Tanpa pikir panjang,
ia pun langsung berlari menjauhi rumah Nara dan pergi entah kemana.
***
Pagi itu Cheryl berjalan
sendirian menyusuri tangga kampus. Ia berjalan dengan perasaannya yang tak
menentu. Sesekali ia memikirkan ucapan mamanya. Namun sesekali juga pikirannya
tertuju pada kejadian dimana ia melihat Nara yang tengah duduk berdua dengan
seorang gadis kemarin.
Fiuuh…
Cheryl menarik nafasnya
dalam-dalam dan membuangnya jauh. Langkahnya terhenti sejenak saat tiba-tiba
seseorang langsung merangkulnya dengan erat. Hal itu membuatnya kaget setengah
mati.
“HEEEI!!!” suara yang
mengagetkan itu.
“Sialan lo! Kaget tau gak?
Untung gue punya jantung dua, jadi yang pertama tuh sebenernya udah copot, nah
yang masih berfungsi ini jantung cadangan!” jelas Cheryl pada orang yang
mengagetkannya yang ternyata adalah Nara.
“Ce ile lebay lo! Udah yo ke
kelas bareng!” ajak Nara sambil terus merangkul sang sahabat sambil jalan.
“Nar! Cher!” tiba-tiba
terdengar suara dari arah belakang mereka. Serentak Nara dan Cheryl pun menengok
bersamaan sambil menunggu orang yang memanggilnya berlari mendekati mereka.
“Eh, Lia? Ada apa?” tanya
Cheryl pada Lia, salah satu teman sekampusnya.
“Enggak, gue cuman mo nanya,
apa lo gak ngerasa ada yang kurang dari barang bawaan lo?” tanya Lia yang
tangan kanannya terlihat menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya.
Cheryl mengecek beberapa
buku yang ada di tangannya. “Oh God! Novel gue mana?”
“Nih! Tadi gue nemuin ini di
taman. Gue apal banget tanda tangan lo di halaman pertama buku ini!” ucap Lia
sambil menyerahkan buku tersebut kepada Cheryl.
“Wah thanks banget ya Li,
untung ada lo. Dan untung juga lo kenalin tanda tangan gue.” Balas Cheryl
sambil tersenyum.
“Nanti-nanti namain sekalian
ya Cher, biar gak cuman gue aja yang bisa ngenalin tanda tangan lo!” saran Lia.
Tak lama Lia menatap heran pada Nara dan Cheryl. Dahinya dikerutkannya dan
bibirnya membentuk satu senyuman. “Bentar, kalo gue perhatiin, kayaknya sebagai
sahabat kedeketan kalian hebat banget ya?!”
“Iya dong! Kita kan sahabat
paling kompak sekampung Rawa Angker, hehehe…”
“Kita juga bakal ngejaga
persahabatan ini sebisa mungkin, dan harus bisa!”
“Iya sahabatan sih boleh
aja. Tapi awas, cinta! Kesenggol mahluk yang satu itu baru tahu rasa lho
kalian! By the way, biar kedeketannya tambah perfect kenapa gak jadian aja
sekalian?” tanya Lia kemudian.
Mendengar pertanyaan Lia,
Nara dan Cheryl saling berpandangan. “JADIAN???” tanya mereka serempak.
“Wuih, mana mau gue sama
alien kayak dia?!” kata Nara sambil mendorong kepala Cheryl dengan tangannya.
“Lo pikir gue mau? Kalo gue
alien, berarti lo ET-nya!” sangkal Cheryl.
Lia tersenyum. “Alien? ET?
Cocok banget!” katanya sambil berlalu meninggalkan mereka berdua. Nara dan
Cheryl tak terlalu mengerti arti dari ucapan Lia tersebut. Mereka pun kembali
melanjutkan perjalanan menuju kelas.
“Cher, tau gak sebenernya
udah sejak lama gue suka banget sama Lia,” kata Nara tiba-tiba.
“HAH???” Cheryl kaget
mendengarnya.
“Wei, biasa aja dong! Ampe
kaget gitu?”
“Enggak, bukannya gitu.
Tapi…”
“Tapi apa? Intinya gue
pengen banget bisa jadi cowoknya dia!”
“Oh…” tak ada respon berarti
dari mulut Cheryl.
“Dia tuh cewek yang cantik,
bae, lembut, dan…”
“Please deh, bisa gak kita
bahas topik laen aja,” pinta Cheryl. Wajahnya terlihat tak bersemangat ketika
itu.
“Tapi Cher, omongan gue gak
ada yang salah apalagi kalo dibandingin lo…”
“Nar, gue bener-bener marah
lo terus ngomongin itu. Apalagi sampe lo ngebanding-bandingin gue sama dia!”
tegas Cheryl sambil berlari meninggalkan Nara sendirian.
Nara terdiam di tempatnya.
Tak ada raut cemas sedikitpun di wajahnya. Ia malah tersenyum kecil melihat
sang sahabatnya yang bersikap demikian.
***
Kuda putih bertanduk itu
berlari kencang ke arah Cheryl yang tengah terbaring lemah di antara tumpukan
jerami yang terlihat kering. Ia pingsan. Lalu sang pangeran yang ada di atas
kuda itupun bergegas turun dan menghampirinya. Ia mengangkat tubuh indah Cheryl
dan menggendongnya ke suatu tempat yang lebih nyaman. Sang pangeran meletakkan
sang gadis di sebuah tempat tidur empuk yang bertirai warna emas. Tak lama,
satu kecupan manis pun mendarat di bibir manis sang gadis. Dan hal itulah yang
membuat Cheryl perlahan membuka matanya.
“Nara?” tanya Cheryl pelan
saat ia mendapati Nara yang tengah terduduk di kursi di sebelah tempat
tidurnya. “Gue kenapa?”
“Lo tadi pingsan di kampus.
Darah rendah kali lo!” jawab Nara.
“Terus?” tanya Cheryl lagi.
“Ya elo gue anterin pulang.
Gue gendong lo dari kampus ke rumah, naek taksi sih, tapi sempet mampir ke
klinik langganan keluarga lo gitu. Untungnya kata dokternya gak papa,” jawab
Nara.
“Gendong?”
“Iya!”
“Terus kuda putihnya lo taro
mana?”
“Hah? Maksud lo?”
***
“Makasih ya Nar,” ucap
mamanya Cheryl. “Kalo gak ada kamu…”
“Kalo gak ada saya, ya pasti
banyak orang lah tante yang bakal nolong Cheryl di sana,” Nara memotong ucapan
mamanya Cheryl sambil sedikit bercanda.
“Kamu tuh ya, bisa aja!”
balas wanita yang masih terlihat cantik itu.
Nara hanya menbalasnya dengan senyuman. Nampaknya Nara sangat cepat sekali
membuat mamanya Cheryl merasa akrab dengan dirinya. Tanpa harus berusaha
mencari muka atau mengambil hati, ia sangat lihai membuat suasana tampak lebih
nyaman. Hampir satu jam mereka mengobrol ngalor ngidul. Dan hampir semuanya
tentang Cheryl.
“Hm, tante kayaknya udah sore,
saya mau pamit pulang dulu,” ucap Nara seraya bangkit dari duduknya.
“Yah, sayang banget yah.
Padahal tante masih pengen ngobrol-ngobrol sama kamu,” ucap mamaya Cheryl.
“Saya bakal sering-sering
deh kesini tante,” jawab Nara sambil tersenyum.
“Janji ya!”
Itu sih emang maunya gue
bisa sering-sering dateng kesini. Makanya tante, jangan judge books by it’s
cover. Dulu aja gue dicuekin, kayak gak ngebolehin gue temenan sama Cheryl.
Tapi sekarang malah lebih dari itu. Batin Nara.
“Sebelom pulang, boleh gak
saya liat Cheryl dulu tante?” pinta Nara.
“Oh, boleh…”
Nara berjalan ke arah kamar
Cheryl lalu memasukinya. Sambil kembali terduduk, ia memandangi wajah cantik
Cheryl yang tengah terlelap dengan nyenyak. Sesekali ia memandangi mamanya
Cheryl yang saat itu ada di sampingnya.
Cantik
banget sih lo Cher! Andai aja lo bukan sahabat gue, udah gue pacarin lo! Dan
satu hal lagi, andai aja nyokap lo gak ada di samping gue, udah gue cium lo
buat yang kedua kalinya…kayak tadi!
***
Cheryl berdiri di halaman
rumahnya. Sudah berkali-kali ia memperbaiki posisi tas selempang warna hijau
tua yang tergantung di badannya. Penglihatannya berpetualang ke segala arah.
namun ia paling sering melempar pandangannya tersebut ke arah gerbang rumahnya.
“Hai, Cher!” tiba-tiba Nara
sudah berada di depan pintu gerbang rumahnya. Ia langsung membuka pintu gerbang
tersebut tanpa meminta persetujuan dari sang pemilik rumah terlebih dahulu.
Cheryl agak aneh melihatnya.
“Tumben lo berani masuk
halaman rumah gue?! Biasanya kan lo udah parno duluan sama sorotan tajem mata
nyokap gue?!” kata Cheryl sambil tersenyum. “By the way, anyway, busway kita
langsung berangkat aja yuk!” ajak Cheryl yang langsung menggandeng lengan
sahabatnya itu. Namun tanpa diduga, Nara menolak gandengan itu.
“Lo kesini mo ngejemput gue
kan?”
“Jangan ge-er dulu, Bu! Gue
kesini buka buat lo tapi buat nyokap lo!” jawab Nara sambil mengacak-acak
rambut Cheryl.
“Hah? Jangan bilang lo punya
hubungan spesial sama nyokap gue!” kata Cheryl cemas.
“Ya enggaklah once! Gue
cuman mo…”
“Eh, Nara udah lama?”
tiba-tiba mamanya Cheryl muncul dari dalam rumah.
“Oh enggak kok tante, saya
baru aja dateng. Oia, nih tante gado-gado yang saya janjiin, gratis!” ucap Nara
seraya memberikan satu kantong plastik hitam yang berisi dua bungkus gado-gado.
“Yang karetnya dua agak pedes tante!”
“Makasih ya Nar!”
“Ya udah deh ma kita mau
pamit dulu ke kampus!” seru Cheryl sambil menarik lengan Nara keras-keras.
“Asalamualaikum tante!”
teriak Nara yang seolah terseret oleh Cheryl.
Mamanya Cheryl tersenyum.
“Wa’alaikum salam! Sering-sering kesini ya, Nar!”
***
“Kok bisa sih nyokap gue
jadi bae gitu ke elo?” tanya Cheryl kepada Nara saat mereka tiba di area kantin
kampus.
“Jangan tanya ke gue tapi
tanya ke nyokap lo!” jawab Nara seadanya. “Eh itu si Lia lagi duduk sendirian,
kita temenin yuk!” ajak Nara saat matanya menangkap sosok Lia di meja yang
kebetulan kosong.
“Aaaah…males ah!” Cheryl
hampir membalikkan tubuhnya saat ia menolak ajakan Nara. Namun bahu Cheryl tak
cukup kuat untuk menahan tenaga yang keluar dari sepasang tangan Nara. Dengan
terpaksa, Cheryl pun akhirnya menuruti kemauan Nara.
Nara dan Cheryl berjalan
mendekati Lia yang tengah menikmati sepotong roti dan segelas espresso. Di
sebelahnya, terlihat satu buku tebal yang nampaknya telah menemaninya sejak
tadi.
“Hai, Li!” sapa Nara yang
langsung duduk di sebelah Lia. Cheryl juga ikut terduduk di sebelah Nara. Jadi
posisi Nara saat ini ada di tengah keduanya.
“Hai…” jawab Lia lembut.
“Li, lagi apa? Kok sendirian
aja?” tanya Nara yang tak kalah lembut dengan suara Lia tadi.
“Hm…lagi iseng aja
baca-baca…”
Nara melirik sebentar ke
arah Cheryl yang membuang pandangannya entah kemana. Namun Nara yakin
pendengaran Cheryl masih cukup tajam dalam mendengar apa yang ia katakan pada
Lia. Sedetik dari itu Nara kembali mengarahkan pandangannya pada Lia.
“Makin hari kayaknya lo
makin cantik ya, Li. Jujur aja udah sejak lama banget gue suka sama lo,” kata
Nara tanpa ragu-ragu. Cheryl merasa malas sekali mendengar percakapan mereka.
“Oh ya?!” Lia tersenyum
manis ke arah Nara. “Kok baru bilang sekarang? Kalo boleh jujur sebenernya gue
juga udah lama banget suka sama lo, tapi…”
“Nar sorry ya, kayaknya gue
gak bisa lama-lama disini,” potong Cheryl tiba-tiba. Ia langsung bangkit dari
duduknya.
Nara menoleh ke arah Cheryl.
Ia jadi ikut bangkit dari duduknya. Tangan kanannya menggenggam erat
pergelangan tangan kiri Cheryl. “Mo kemana Cher?”
“Terserah gue dong gue mo
kemana!” jawabnya singkat.
“Tapi…”
“Lepasin tangan gue!” pinta
Cheryl tegas. Tangannya dihentakkannya agar genggaman tangan Nara terlepas dari
pergelangan tangannya. Ia berhasil.
“Cher!”
“Lo gak berhak
ngelarang-larang gue mo kemana, pacar gue bukan!” kata Cheryl ketus. Ia
langsung berlari meninggalkan Nara dan Lia begitu saja.
Selepas kepergian Cheryl,
Nara menepuk bahu kiri Lia. “Thanks ya Li, lo udah bantuin gue!” Lia
menjawabnya dengan satu anggukan dan satu senyuman. Setelah mendapat jawaban
dari Lia, Nara pun langsung berlari mengejar Cheryl.
Cheryl yang tak tahu harus
berlari kemana, langsung terduduk di bangku taman yang terletak agak pojok.
Pohon besar dan rindang memayungi hatinya yang tengah hujan deras. Di kursi itu
pula hujan deras tersebut akhirnya menimbulkan bah kecil di kedua pipinya.
Cheryl menangis sejadi-jadinya.
“Cher…” suara lembut
seseorang memecah lamunannya. Namun ia tak mau menoleh ke arah suara tersebut
karena ia tahu suara tersebut adalah milik Nara.
“Gue pengen sendiri,” kata
Cheryl pelan tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya.
“Tapi gue gak pengen lihat
lo sendirian. Gue tahu gue salah tapi harus ada yang dilurusin di antara kita.
Sebenernya hubungan kita ini tuh apa sih?”
Cheryl tak merespon.
“Oke, gue mo bikin semuanya
clear, semuanya, semua tentang kita. Tentang perasaan gue, perasaan lo. Cher,
kalo di ujian ada soal ‘siapa orang termunafik di dunia?’ lo boleh nulis nama
gue sebagai jawabannya. Karena boleh percaya atau enggak, sebenernya udah sejak
lama gue suka sama lo, sayang sama lo, tapi gue gak pernah berani buat ngakuin
ini semua ke elo. Gue gak pernah berani buat jujur di depan lo. Jangankan di
depan lo, jujur sama gue sendiri aja gue gak bisa. Gue takut Cher, karena gue
gak tahu lo punya perasaan yang sama sama gue atau enggak. Tapi setelah gue
minta bantuan Lia, nyokap lo, akhirnya sekarang gue dapet jawabannya,” jelas
Nara. Cheryl yang cukup terkejut dengan pernyataan Nara.
Cheryl menghapus air matanya
dengan kedua tangannya. “Siapa yang suka sama lo?!” ucap Cheryl pelan. Nada
manja terdengar di potongan kalimat tersebut.
“Bener? Lo gak suka sama
gue?” tanya Nara sambil tersenyum. “Ya udah, kalo gitu gue pergi aja!”
Nara sengaja membalikan
badannya dan berjalan pelan meninggalkan Cheryl. Namun tiba-tiba Cheryl bangkit
dari duduknya dan langsung memeluk Nara dari belakang.
“Jangan pernah tinggalin
gue, Nar! Gue…juga…sayang…sama lo!”
“Sebagai?”
“Terserah!”
“Pacar, boleh?”
“Terserah…!!!”
***
Percakapan Nara dengan
mamanya Cheryl saat Cheryl tengah terbaring lemah karena pingsan.
“Makasih ya Nar,” ucap
mamanya Cheryl. “Kalo gak ada kamu…”
“Kalo gak ada saya, ya pasti
banyak orang lah tante yang bakal nolong Cheryl di sana,” Nara memotong ucapan
mamanya Cheryl sambil sedikit bercanda.
“Kamu tuh ya, bisa aja!”
balas wanita yang masih terlihat cantik itu.
Nara hanya menbalasnya
dengan senyuman.
“Oh iya, maafin tante ya
kalo selama ini tante kurang nerima kamu jadi temennya Cheryl. Dulu tante belom
kenal kamu sama sekali. Jadi tante kira kamu itu orang yang kurang tepat jadi
temennya Cheryl.”
“Gak papa tante, saya
ngerti. Ibu saya juga pernah ngelakuin hal kayak gitu ke temen-temen saya waktu
saya SD. Yah…namanya juga orang tua…”
“Dan baru kemaren juga tante
mau ngedengerin semua cerita tentang kamu dari Cheryl. Banyak banget kisah
selama kalian sahabatan yang Cheryl ceritain sama tante. Salah satunya waktu
pertama kali kalian kenalan. Suatu hari Cheryl pernah gak ada kerjaan, maen
sepeda keliling kampung terus dia nyebur ke empang yang kotor dan bau. Orang
pertama yang nolongin dia adalah kamu, sampe-sampe kamu bela-belain ikut nyebur
ke empang yang kotor itu, hahaha…”
“Hehehe…iya tante, cara
kenalan kita gak ada bagus-bagusnya ya tante. Tapi awal yang buruk bukan
berarti jadi suatu keburukan yang kontiniti kan tante.”
“Eh, kata siapa itu awal
yang buruk, itu gak buruk sama sekali, tapi lucu!”
Nara jadi ikut tertawa saat ia melihat mamanya Cheryl tertawa mengingat cara
perkenalan dirinya dengan Cheryl.
“Oh iya, kamu pernah denger
nama Andi keluar dari mulut Cheryl?” tanya mamanya Cheryl tiba-tiba.
“Enggak tante, kenapa?
Lagian Andi itu siapa?” tanya Nara.
“Calon suami Cheryl!”
Nara terdiam. Ia terkejut.
Seperti ada guntur yang langsung tembus ke jantungnya saat ia mendengar ucapan
lawan bicaranya tersebut.
“Eh salah, mantan calon
suami,” mamanya Cheryl meralat ucapannya. “Tadinya sih keluarga tante sama
keluarganya Andi mau ngejodohin mereka, tapi tante langsung gak suka sama
laki-laki yang cengeng. Masa gara-gara Cheryl cuekin dia waktu dia dateng
kesini, dia langsung ngadu sama mamanya dan ngerengek-rengek minta perjodohan
ini dibatalin?! Ya udah akhirnya semua itu batal!” jelasnya.
“Oh gitu…”
“Maka dari itu, sekarang
tante pengen kamu yang jadi calon suaminya Cheryl!” tegas mamanya Cheryl.
Nara terdiam lagi. Ia terkejut lagi. Seperti ada guntur kedua yang langsung
tembus ke jantungnya saat ia mendengar ucapan lawan bicaranya tersebut.
“Hm…”
“Asal kamu tahu ya, Cheryl
itu udah sejak lama suka sama kamu dan kamu juga sebaliknya kan?!” Nara bengong
mendengar ucapan tersebut. “Saran tante sih, coba kamu tes dia. Coba kamu
pura-pura mesra sama cewek lain di depan dia dan lihat reaksinya, oke?!”
mamanya Cheryl mengacungkan jempolnya ke arah Nara sambil tersenyum.
“Oke tante saya coba. Karena
saran tante oke, nanti saya kasih hadiah dua bungkus gado-gado gimana?” ucap
Nara yang di sambut baik oleh mamanya Cheryl.
Nampaknya Nara sangat cepat
sekali membuat mamanya Cheryl merasa akrab dengan dirinya. Tanpa harus berusaha
mencari muka atau mengambil hati, ia sangat lihat membuat suasana tampak lebih
nyaman. Hampir satu jam mereka mengobrol ngalor ngidul. Dan hampir semuanya
tentang Cheryl.
“Hm, tante kayaknya udah
sore, saya mau pamit pulang dulu,” ucap Nara seraya bangkit dari duduknya.
“Yah, sayang banget yah.
Padahal tante masih pengen ngobrol-ngobrol sama kamu,” ucap mamaya Cheryl.
“Saya bakal sering-sering
deh kesini tante,” jawab Nara sambil tersenyum.
“Janji ya!”
Itu sih emang maunya gue
bisa sering-sering dateng kesini. Makanya tante, jangan judge books by it’s
cover. Dulu aja gue dicuekin, kayak gak ngebolehin gue temenan sama Cheryl.
Tapi sekarang malah lebih dari itu. Batin Nara.
“Sebelom pulang, boleh gak
saya liat Cheryl dulu tante?” pinta Nara.
“Oh, boleh…”
Nara berjalan ke arah kamar
Cheryl lalu memasukinya. Sambil kembali terduduk, ia memandangi wajah cantik
Cheryl yang tengah terlelap dengan nyenyak. Sesekali ia memandangi mamanya
Cheryl yang saat itu ada di sampingnya.
Cantik banget sih lo Cher!
Andai aja lo bukan sahabat gue, udah gue pacarin lo! Dan satu hal lagi, andai
aja nyokap lo gak ada di samping gue, udah gue cium lo buat yang kedua
kalinya…kayak tadi!
Tak lama mamanya Cheryl keluar dari kamar. Sehingga hanya tinggal Nara dan
Cheryl-lah yang ada di kamar tersebut. Dan untuk yang kedua kalinya Nara
memberanikan diri untuk mencium bibir kecil Cheryl.
***
“Jadi…selama gue pingsan, lo
nyium gue?” tanya Cheryl memastikan saat ia mendengar cerita Nara barusan.
Nara hanya menjawabnya
dengan senyuman nakal.
“Ih…pantesan gue mimpi
dicium kodok cacar!”
“Tapi, gak ada kodok cacar
seganteng gue, hahaha…”
***
26 Agustus 2008