Siang
itu matahari memamerkan cahayanya dengan sombong. Ia melukis langit menjadi
sangat putih dan menyengat mahluk di bumi dengan gagahnya. Ia berhasil
menyindir suasana hatiku yang sudah dua hari ini mendung tak terperi. Tak hanya
itu, bahkan kedua pipiku pun tak pernah bisa kering sejak peristiwa ini
terjadi. Entah apa yang akan terjadi denganku nanti, dengan masa depanku kelak.
Aku tak tahu.
Aku
masih menangis. Entah sampai kapan ini akan berhenti. Pikiranku terus melayang,
dan tak hentinya teringat akan peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu
tersebut. Kecelakaan itu membuatku harus merelakan tubuhku terus terbaring di
tempat tidur ini. Aku tak lagi bisa berjalan. Selamanya.
Reno,
kekasihku, belum mengetahui hal ini. Dengan alasan berlibur ke kampung nenekku,
aku sengaja menghilang dan menutup diri rapat-rapat mengenai kejadian yang aku
alami ini, paling tidak utuk satu minggu terakhir. Aku belum berani melihat reaksinya saat
melihatku dalam kondisi seperti ini. Namun aku sadar, cepat atau lambat Reno
berhak tahu atas segala yang terjadi padaku.
Tak
lama berselang aku terkejut. Lamunanku pecah ketika ada satu sms masuk yang ke
handphone-ku. Dari Reno.
* Reno : Aku ke rumahmu sekarang ya.
* Nina : Darimana kamu tahu aku udah pulang dari
liburan?
* Reno : Cuma menebak.
* Nina : Ya, aku tunggu. Ini juga saatnya untuk
memberitahumu dan memberimu pilihan.
* Reno : Maksudnya?
* Nina : Datang saja dulu. Aku tunggu.
Penantian
satu jam-ku terbayar ketika aku mendengar suara motor Reno yang memasuki
halaman rumahku. Diantara perbatasan antara bahagia dan kecewa, aku berusaha
tegar atas apa yang mungkin nanti akan terjadi, apapun itu. Kutarik selimutku
lebih tinggi.
Reno
memasuki kamarku dengan membawa senyumnya yang tulus. Ia berjalan ke arahku dan
duduk di sampingku, di tepi tempat tidur. Mataku yang sembab tiba-tiba basah
kembali. Reno membelai rambutku pelan.
“Gimana
kabar kamu? Maksudnya memberi pilihan itu apa?” tanya Reno. Tutur katanya sangat
halus.
Aku
menarik nafasku dalam-dalam. “Pertama, aku mau minta maaf, aku bohong. Liburan itu
gak pernah ada. Aku kecelakaan. Tabrakan mobil yang sangat mengenaskan,” kataku
lemah. Air mataku semakin deras mengalir. “Aku gak cukup punya nyali buat ngasih
tahu sama kamu.”
Reno
menyimak semua ucapanku baik-baik. Aku lihat matanya mulai basah.
“Lalu,
pilihan itu?” tanya Reno.
Aku
terdiam sejenak. Dengan segenap tenaga yang tersisa, aku mengumpulkan semua keberanian
untuk memberitahukan semuanya. Dan pada akhirnya sebuah kemantapan hadir
setelah helaan nafasku yang terakhir. Kusibak selimut yang menutupi sebagian
tubuhku, hingga akhirnya terkuaklah semua yang selama ini aku tutupi.
Reno
terdiam. Ia memandangi tubuhku dari ujung kepala hingga ujung lutut. Ya, ujung
lutut. Sekarang aku sudah tak lagi dapat melihat telapak kakiku, mewarnai
jari-jarinya dengan kutek berwarna menawan, atau mempercantiknya dengan sepatu
yang sesuai dengan trend terbaru. Aku sudak talagi memiliki kaki. Ksedua kakiku
diamputasi.
“Kamu
gak kaget?” tanyaku. Pertanyaan itu muncul ketika aku melihat mimik wajahnya
yang datar.
“Aku
udah tahu,” jawab Reno tenang. Sekarang malah aku yang terkejut Aku terkejut sampai
ia mulai melanjutkan kalimatnya. “Sejak kamu bilang kamu sedang berlibur, aku
tahu itu gak bener. Aku selalu datang ke rumah sakit sejak hari pertama kamu
kecelakaan. Aku selalu disamping kamu saat kamu tertidur lelap.”
Keterkejutanku
ternyata belum berhenti. Namun aku harus tetap berbuat sesuatu. Keadaan tak
menentu ini harus segera diakhiri dengan sebuah jawaban, sebuah keputusan.
“Aku gak
perlu menyebutkan opsinya. Aku ingin langsung saja mendengar, apa pilihan
kamu?” kataku miris.
“Kamu
pasti sudah tahu jawabannya,” kata Reno mantap.
Aku
menangis, terisak. Tapi aku sadar dan tahu diri. Reno masih memiliki masa depan
yang cerah. Jalannya masih panjang. Ia berhak menentukan jalan hidupnya
sendiri. Dan kini, aku hanya bisa berbesar hati jika Reno benar-benar
meninggalkanku.
“Maaf,
aku harus ninggalin kamu,” katanya. Aku tersenyum kecil, dalam tangisku. “Tapi,
simpankan ini sampai aku pulang,” lanjutnya. Telunjuk dan ibu jarinya menjepit
sebuah cincin emas dengan satu mata berlian di atasnya. “Aku mau lanjutin study
aku ke New York. Dan sepulangnya aku akan melamar kamu.”
Aku
terkesiap. Keningku berkerut.
“Sadarkah
kamu ngucapin kalimat ini?”
“Sesadar
aku ngerasain kamulah yang selalu buat hidup aku berguna,” katanya pelan.
Air
mataku kembali mengalir lebih deras. Namun ini tak sama. Perasaan galau yang
aku rasakan selama ini, berganti dengan haru dan bahagia yang tak bisa
diungkapkan. Aku ingin sekali mengutuk tubuh ini sejelek-jeleknya. Aku telah
merasa berdosa telah berprasangka buruk kepada laki-laki yang hatinya bagai
malaikat ini. dan ia adalah Reno.
“Tapi
dokter udah mengamputasi kaki aku Ren,” ucapku untuk lebih menegaskan agar ia
tak memiliki penyesalan di kemudian hari.
“Dokter
cuma mengamputasi kaki kamu kan, bukan hati kamu? Dan aku akan tetap berusaha
mendampingi kamu sampai Tuhan mengamputasi umurku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar