Senin, 17 Maret 2014

Short Story : "KEPUTUSAN"



Siang itu matahari memamerkan cahayanya dengan sombong. Ia melukis langit menjadi sangat putih dan menyengat mahluk di bumi dengan gagahnya. Ia berhasil menyindir suasana hatiku yang sudah dua hari ini mendung tak terperi. Tak hanya itu, bahkan kedua pipiku pun tak pernah bisa kering sejak peristiwa ini terjadi. Entah apa yang akan terjadi denganku nanti, dengan masa depanku kelak. Aku tak tahu.
Aku masih menangis. Entah sampai kapan ini akan berhenti. Pikiranku terus melayang, dan tak hentinya teringat akan peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu tersebut. Kecelakaan itu membuatku harus merelakan tubuhku terus terbaring di tempat tidur ini. Aku tak lagi bisa berjalan. Selamanya.
Reno, kekasihku, belum mengetahui hal ini. Dengan alasan berlibur ke kampung nenekku, aku sengaja menghilang dan menutup diri rapat-rapat mengenai kejadian yang aku alami ini, paling tidak utuk satu minggu terakhir.  Aku belum berani melihat reaksinya saat melihatku dalam kondisi seperti ini. Namun aku sadar, cepat atau lambat Reno berhak tahu atas segala yang terjadi padaku.
Tak lama berselang aku terkejut. Lamunanku pecah ketika ada satu sms masuk yang ke handphone-ku. Dari Reno.
* Reno    : Aku ke rumahmu sekarang ya.
* Nina     : Darimana kamu tahu aku udah pulang dari liburan?
* Reno    : Cuma menebak.
* Nina     : Ya, aku tunggu. Ini juga saatnya untuk memberitahumu dan memberimu pilihan.
* Reno    : Maksudnya?
* Nina     : Datang saja dulu. Aku tunggu.
Penantian satu jam-ku terbayar ketika aku mendengar suara motor Reno yang memasuki halaman rumahku. Diantara perbatasan antara bahagia dan kecewa, aku berusaha tegar atas apa yang mungkin nanti akan terjadi, apapun itu. Kutarik selimutku lebih tinggi.
Reno memasuki kamarku dengan membawa senyumnya yang tulus. Ia berjalan ke arahku dan duduk di sampingku, di tepi tempat tidur. Mataku yang sembab tiba-tiba basah kembali. Reno membelai rambutku pelan.
“Gimana kabar kamu? Maksudnya memberi pilihan itu apa?” tanya Reno. Tutur katanya sangat halus.
Aku menarik nafasku dalam-dalam. “Pertama, aku mau minta maaf, aku bohong. Liburan itu gak pernah ada. Aku kecelakaan. Tabrakan mobil yang sangat mengenaskan,” kataku lemah. Air mataku semakin deras mengalir. “Aku gak cukup punya nyali buat ngasih tahu sama kamu.”
Reno menyimak semua ucapanku baik-baik. Aku lihat matanya mulai basah.
“Lalu, pilihan itu?” tanya Reno.
Aku terdiam sejenak. Dengan segenap tenaga yang tersisa, aku mengumpulkan semua keberanian untuk memberitahukan semuanya. Dan pada akhirnya sebuah kemantapan hadir setelah helaan nafasku yang terakhir. Kusibak selimut yang menutupi sebagian tubuhku, hingga akhirnya terkuaklah semua yang selama ini aku tutupi.
Reno terdiam. Ia memandangi tubuhku dari ujung kepala hingga ujung lutut. Ya, ujung lutut. Sekarang aku sudah tak lagi dapat melihat telapak kakiku, mewarnai jari-jarinya dengan kutek berwarna menawan, atau mempercantiknya dengan sepatu yang sesuai dengan trend terbaru. Aku sudak talagi memiliki kaki. Ksedua kakiku diamputasi.
“Kamu gak kaget?” tanyaku. Pertanyaan itu muncul ketika aku melihat mimik wajahnya yang datar.
“Aku udah tahu,” jawab Reno tenang. Sekarang malah aku yang terkejut Aku terkejut sampai ia mulai melanjutkan kalimatnya. “Sejak kamu bilang kamu sedang berlibur, aku tahu itu gak bener. Aku selalu datang ke rumah sakit sejak hari pertama kamu kecelakaan. Aku selalu disamping kamu saat kamu tertidur lelap.”
Keterkejutanku ternyata belum berhenti. Namun aku harus tetap berbuat sesuatu. Keadaan tak menentu ini harus segera diakhiri dengan sebuah jawaban, sebuah keputusan.
“Aku gak perlu menyebutkan opsinya. Aku ingin langsung saja mendengar, apa pilihan kamu?” kataku miris.
“Kamu pasti sudah tahu jawabannya,” kata Reno mantap.
Aku menangis, terisak. Tapi aku sadar dan tahu diri. Reno masih memiliki masa depan yang cerah. Jalannya masih panjang. Ia berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Dan kini, aku hanya bisa berbesar hati jika Reno benar-benar meninggalkanku.
“Maaf, aku harus ninggalin kamu,” katanya. Aku tersenyum kecil, dalam tangisku. “Tapi, simpankan ini sampai aku pulang,” lanjutnya. Telunjuk dan ibu jarinya menjepit sebuah cincin emas dengan satu mata berlian di atasnya. “Aku mau lanjutin study aku ke New York. Dan sepulangnya aku akan melamar kamu.”
Aku terkesiap. Keningku berkerut.
“Sadarkah kamu ngucapin kalimat ini?”
“Sesadar aku ngerasain kamulah yang selalu buat hidup aku berguna,” katanya pelan.
Air mataku kembali mengalir lebih deras. Namun ini tak sama. Perasaan galau yang aku rasakan selama ini, berganti dengan haru dan bahagia yang tak bisa diungkapkan. Aku ingin sekali mengutuk tubuh ini sejelek-jeleknya. Aku telah merasa berdosa telah berprasangka buruk kepada laki-laki yang hatinya bagai malaikat ini. dan ia adalah Reno.
“Tapi dokter udah mengamputasi kaki aku Ren,” ucapku untuk lebih menegaskan agar ia tak memiliki penyesalan di kemudian hari.
“Dokter cuma mengamputasi kaki kamu kan, bukan hati kamu? Dan aku akan tetap berusaha mendampingi kamu sampai Tuhan mengamputasi umurku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar