Jumat, pukul
12.45.
Sudah sekitar
satu jam gadis itu duduk di pelataran salah satu mesjid menunggui sang pacar
yang sedang melaksanakan ibadah sholat Jumat. Sendirian. Yang menemaninya
sedari tadi hanyalah sebuah Al Kitab kecil di tangannya. Sesekali ia menyentuh
kalung salib kecil yg melingkar di lehernya. Nama gadis itu adalah Helena.
Satu persatu para
jemaah sudah mulai meninggalkan mesjid. Menyadari hal tersebut Helena pun
menutup Al Kitab-nya secara perlahan dan memasukkannya ke dalam tas LV nya.
"Yuk!"
tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki yang berjalan terpincang-pincang di
tengah acara beres-beresnya. Helena mendongak. Itu suara Alif, orang yang
ditungguinya.
"Udah
selesai?" tanya Helena sambil bangkit dari duduknya. Alif menjawabnya
dengan senyuman. Dan mereka pun berjalan beriringan meninggalkan rumah ibadah
tersebut.
Hubungan itu baru
terjadi sekitar satu bulan yang lalu. Ketika itu Helena adalah orang pertama
yang menolong Alif dan membawanya ke rumah sakit ketika beberapa saat terjadi
kecelakaan di depan halte dekat kantor mereka. Motor yang Alif kendarai
diserempet sebuah truk kontainer tak bertanggung jawab yang melaju kencang.
Akibatnya Alif terpental beberapa meter ke depan. Kepala dan kakinya membentur
trotoar dengan cukup keras. Sejak saat itu Alif yang memang sudah lama
mengetahui bahwa teman satu kantornya itu menaruh hati padanya, langsung
menerima Helena menjadi pacarnya. Itu ia lakukan hanya karena ia merasa
memiliki hutang budi yang teramat tinggi terhadap Helena. Ia merasa itulah cara
yang paling tepat yang bisa ia lakukan.
"Kakinya
masih sakit?" tanya Helena di tengah perjalanan mereka menuju kantor.
"Udah agak
baikan sih. Paling dalam beberapa hari ke depan udah gak apa-apa," jawab
Alif pelan.
"Oh iya,
nanti sore jadi kontrol ke rumah sakit?"
"Iya."
"Aku anter
ya?!"
"Ga usah.
Aku tahu kamu masih banyak kerjaan, jadi gak perlu nganter segala. Aku bisa kok
sendirian," tegas Alif.
"Oke,
hati-hati ya!" senyum Helena terlihat sangat manis mengiringi kalimat
terakhirnya.
***
Nama Alif
dipanggil oleh kasir apotik yang sudah siap memberikan satu plastik kecil
obat-obatan yang harus ditebus. Ia berharap ini adalah resep terakhir yang
diberikan oleh sang dokter, mengingat ia yakin betul kondisi badannya sudah
sangat fit dibanding beberapa minggu yang lalu. Hanya sebelah kakinya saja yang
masih agak terpincang saat berjalan.
Nanti juga akan
sembuh sendiri, batinnya.
Setelah membayar
semuanya, Alif langsung bergegas untuk meninggalkan apotik, ia pun membalikkan
badannya namun..
"Aduh!"
ada suara refleks dari seorang gadis muda yang tertabrak tubuh Alif.
"Maaf!
Aisha?" menyadari siapa yang telah ia tabrak, Alif pun langsung
menyunggingkan senyumnya.
Aisha adalah
teman Alif sewaktu SMA, pun satu SMA dengan Helena. Pakaian putih, jilbab
putih, dan senyumnya yang ramah dengan jelas menegaskan bahwa Aisha adalah
seorang suster yang sangat bersahabat.
"Kayaknya
perkembangan penyembuhan kaki kamu cukup pesat ya?!" Aisha sambil melihat
sejenak kaki kiri Alif.
"Ya seperti
yang kamu lihat," sambut Alif.
"Kamu udah
makan? Ke kantin yuk, aku yang traktir deh," ajak Aisha.
"Aku masih
kenyang, tapi untuk sekedar minum, boleh deh!" Alif menerima tawaran
Aisha.
***
Di kantin rumah
sakit.
Aisha membawa dua
botol minuman teh dalam kemasan dan memberikan satu kepada Alif yang sudah
menunggu di salah satu kursi disana.
Tanpa terasa
sudah hampir satu jam mereka mengobrol. Topik pembicaraan pun yang tadinya
hanya sebatas topik umum jadi melebar kemana-mana. Hingga pada akhirnya entah
kenapa tibalah pada satu pertanyaan yang keluar dari mulut Aisha.
"Hm, Al,
kamu masih pacaran sama Helena?" tanya Aisha.
Alif mengangkat
wajahnya yg sempat menunduk karena menyeruput teh-nya lewat sedotan. "Iya,
masih."
"Kamu udah
berpikir matang-matang?"
"Entah udah
berapa kali aku denger pertanyaan yang sama Sha," jawab Alif pelan,
"Dan sampe sekarang aku masih bingung. Helena itu baik. Dia yang udah
nyelametin aku. Entah dengan cara apa lagi aku membalas kebaikannya kalo bukan
dengan cara membalas perasaannya."
"Tapi..."
"Kita gak
seiman? Iya?" Alif memotong ucapan Aisha. Sejenak ia menarik nafas
panjang. "Kamu gak salah Sha, itu juga salah satu alasan kuat kenapa aku
bingung."
Aisha menatap
lembut mata Alif. Ia tak bisa mengeluarkan kata-kata. Ada raut kekecewaan yang
tergambar di wajahnya.
"Kamu doain
aja ya Sha, semoga kita berdua punya solusi yang terbaik buat hubungan
ini."
Aisha tersenyum,
manis. "Dari dulu doa aku gak pernah putus buat kamu Al."
***
Hari itu adalah
kali pertama Helena datang ke rumah Alif. Ia disambut hangat oleh seluruh
anggota keluarga Alif yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan kakak
perempuannya. Memang, menurut pandangan para tetangga pun, keluarga H.
Miftahuddin merupakan sebuah keluarga berada yang memiliki jiwa sederhana dan
rendah hati.
Beberapa jam
mengobrol akhirnya Helena menawarkan diri untuk membuatkan hidangan makan malam
untuk keluarga Alif. Dan setelah semuanya selesai Helena pun langsung
menghidangkannya di meja makan kecil tersebut.
"Kamu
belajar masak dimana nak?" tanya ibunya Alif yang terlihat sangat
menikmati hasil masakan Helena.
Sambil tersipu
malu Helena menjawab pelan. "Saya diajarin sama Mama, Bu."
"Bumbunya
itu lho, pas banget! Gak kurang gak lebih," tambah sang ayah sambil
menuang sayur asem ke piringnya.
Helena makin
tersipu.
Selesai makan,
Helena langsung merapikan piring-piring kotor yang ada di meja. Ia bergegas
membawanya ke dapur untuk kemudian dicucinya.
"Sudah,
biarin aja. Nanti ibu yang cuci!" tegas ibunya Alif. Matanya melirik Alif
yang berjalan pelan ke teras belakang.
"Gak apa-apa
bu, saya udah biasa kok di rumah!"
"Oh gitu,
makasih ya." jawab sang ibu. Ia pun menyusul Alif yang tengah berdiri di
teras belakang sambil menatap malam.
Menyadari sang
ibu datang, Alif pun langsung menyapanya. "Eh ibu.."
"Lif, kamu
itu ketemu Helena dimana?"
"Kenapa
bu?"
"Anaknya
baik ya. Pinter masak pula." Ucap sang ibu. "Kamu memang pinter cari
calon istri ya Lif."
"Ibu bisa
aja.."
"Selain itu,
Subhanallah wajahnya cantik banget Lif." lanjut sang ibu. Alif hanya bisa
tersenyum. "Apalagi, kalau dia pake jilbab ya Lif."
Senyum Alif
lenyap seketika. Kalimat pendek ibunya ternyata langsung menggetarkan dadanya.
Ia terdiam. Tak mampu mengeluarkan kalimat penjawab bagi perkataan ibunya.
"Lif? Kamu
kok diem? Kalo kalian menikah, kamu mau kan menjilbabkan Helena?"
Alif masih
terdiam.
"Lif?"
Alif menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian ia mulai berbicara, pelan. "Helena... Dia
bukan muslim Bu..."
Sang ibu
terkejut. Keterkejutannya digambarkannya dengan menatap dalam-dalam ke mata
Alif. Tak lama berselang, sang ibu mulai memutar badan secara perlahan dan
melangkahkan kakinya menjauhi Alif. Alif yang melihatnya segera melakukan
pencegahan.
"Bu..."
panggil Alif berusaha menahan tangan ibunya.
Sang ibu tak
menjawab. Ditepisnya tangan Alif. Dan melanjutkan langkahnya menuju kamarnya.
Alif galau. Ada
perasaan miris melihat lunturnya senyum dari bibir ibunya dengan seketika. Dan
itu membuat hatinya kecewa.
***
Di jam makan
siang Alif menghampiri Helena di meja kantornya. Tanpa meminta persetujuan
Helena, ia langsung menarik kursi milik teman kerja Helena yang saat itu sudah
tidak berpenghuni. Ia memosisikan diri di depan meja kerja Helena.
"Ini.."
tanpa banyak bicara, tiba-tiba Alif menyodorkan sebuah kotak kecil yang sudah
terbuka berisi sebuah cincin.
Sedetik setelah
mellihat benda yang Alif bawa, penglihatan Helena teralih pada laki-laki yang
ada di hadapannya.
Helena
menggeleng. Ia pun segera mendorong benda tersebut ke arah Alif.
"Kenapa?"
tanya Alif penuh tanda tanya.
"Ternyata
hubungan ini terlalu rumit Al.." jawab Helena pelan.
"Karena kita
beda keyakinan?"
"Ini lebih
rumit dari hanya sekedar hubungan beda keyakinan Al. Aku gak pantes buat
dapetin ini."
"Aku gak
ngerti," ucap Alif pelan. Keningnya berkerut.
"Sebentar
lagi kamu akan ngerti juga, Al." Meski miris, Helena berusaha memberi
kehangatan di setiap ucapannya.
"Kalo aku
minta ingin dibuat mengerti sekarang?" Alif memelas. Namun tak ada respon
apapun dari Helena.
"Kamu harus
menelan kekecewaan, Al." jawab Helena sambil berlalu dari hadapan Alif dan
meninggalkannya.
***
Sepulang kerja,
Alif memasuki kamarnya. Tanpa disadari, Amaya, kakak perempuannya membuntutinya
dari belakang. Ia langsung terduduk di sisi tempat tidur Alif.
"Puas kamu
sekarang?" ucap Amaya. Meskipun pelan, namun dari intonasinya jelas
tersirat kemarahan besar di dalamnya.
Alif sadar betul
apa yang akan disinggung oleh Amaya. Meskipun demikian, ia tetap berpura-pura
bertanya.
"Maksudnya?"
"Puas kamu
bikin Umi kecewa? Apa sih Al, yang ada di pikiranmu itu?"
"Aku tahu
Mba aku salah. Aku juga tahu sudah seharusnya hubungan ini berakhir." Alif
menghentikan ucapannya sebentar. "Tapi..."
Sejenak Amaya
menatap dalam-dalam mata Alif. "Mba, kecewa ya kamu masih nambahin kata
'tapi'. Apa sih yang kamu cari? Katanya kamu mau nyari ridha Ilahi. Katanya
kamu mau nyari kebahagiaan dunia akhirat. Salah satu untuk menuju kesana itu
adalah dengan menjadi imam keluarga dari istri dan anak-anak soleh solehah Al.
Salah satu untuk menuju kesana itu dengan membahagiakan Umi, Al. Ridha Ilahi
itu ridhanya Umi." Amaya menceramahi Alif, sekaligus mengingatkan Alif
akan ucapan-ucapan Alif di masa lalu.
Alif terdiam. Tak
sedikitpun ucapan Amaya yang terbantahkan. Nalurinya mau tak mau harus mengakui
itu.
Amaya berdiri dan
berjalan pelan menginggalkan Alif sendirian. Di depan pintu kamar Alif, ia
menghentikan langkahnya dan berbalik arah.
"Buktiin
kalo kamu adalah anak Umi yang otaknya paling berisi!" tegas Amaya yang
lalu menghilang dari hadapan Alif.
***
Pukul 20.00.
Selepas shalat Isya, Alif berjalan pelan menuju ruang keluarga. Di tempat
tersebut, ia biasa meluangkan waktunya bersama kedua orang tua dan kakak
perempuannya. Dan sekarang ia baru menyadari, terakhir ia bergabung bersama
mereka di jam-jam santai seperti ini adalah seminggu yang lalu. Ada perasaan kangen
terhadap suasana tersebut.
Sambil menarik
nafas panjang, Alif yg sudah memposisikan diri di hadapan mereka, mulai membuka
suara.
"Abi, Umi,
Mba Amaya, Alif mau bicara..."
***
Sabtu siang, di
bawah cahaya matahari yang redup, Alif berjalan cepat setelah memarkir motornya
sembarangan. Ia memasuki bangunan yang didominasi dengan warna putih itu dengan
terburu-buru. Suara ketukan sepatu dari setiap langkah yang ia ciptakan
terdengar jelas di lantai keramik putih di sepanjang lorong yang hening. Hanya
ada beberapa orang saja yang lewat. Setelah melakukan perjalanan singkatnya,
akhirnya Alif tiba di tempat tujuannya sambil terengah-engah, kantin rumah
sakit.
"Aku udah
tahu jawabannya!" katanya tiba-tiba. Ia langsung mengeluarkan kalimat itu
ketika mendapati Helena dan Aisha sudah duduk di bangku kantin dan memerhatikan
Alif dengan seksama.
"Tahu
apa?" tanya Helena.
"Tahu kenapa
kamu nolak cincin pemberianku." ucap Alif pelan.
Helena berdiri,
lalu berjalan ke arah Alif. Aisha memerhatikan dari belakang.
"Jauh di
atas ekspetasiku, kalo kamu bakal tahu secepat ini Al. Kamu terlalu pintar
untuk berlama-lama nggak tahu." Helena menyunggingkan senyum kecilnya.
Alif memelankan suaranya. "Kamu ngelakuin semua ini demi Aisha kan?"
Helena menoleh
sedikit ke arah Aisha. Ia tersenyum dan kembali memalingkan wajahnya kepada
Alif. "Demi sahabatku tercinta. Sahabatku yang ternyata selalu mencintai
kamu lebih dari aku."
"Kamu memang
orang pertama yang nolong aku saat kecelakaan..."
"Tapi Aisha
yang merawat kamu dengan sepenuh hati. Gak ada suster 24 jam tanpa bayaran yang
sabar ngajak ngobrol kamu meski dalam keadaan koma, yang selalu melantunkan doa
di setiap tetesan air matanya di hadapan kamu." jelas Helena.
"Kamu memang
tahu semua yang aku suka..."
"Tapi Aisha
yang kasih tahu itu semua sama aku. Tentang kebiasaan kamu, tempat yang sering
kamu datangi, bahkan makanan apa yang kamu suka dan gak kamu suka. Aisha kasih
tahu aku akan semua itu. Dia juga kasih tahu apa yang harus aku hindari, yang
mungkin akan buat kamu nggak suka."
"Kamulah
pacarku sekarang..."
"Tapi
Aisha-lah calon istrimu kelak. Istri dan ibu dari anak-anakmu kelak. Seorang
wanita sholehah yang hatinya seperti malaikat. Yang membuatku ingin terus
banyak belajar darinya. Aku gak pernah mau menyakiti hati seorang wanita
selembut Aisha, Al."
"Karena itu
aku kemari. Mempertemukan kalian untuk kemudian memutuskan..." Alif
mengeluarkan kotak cincin yang dulu sempat ia tawarkan kepada Helena. Lalu
mengeluarkan cincin tersebut dan menjepitnya dengan telunjuk dan ibu jarinya.
"Memutuskan siapa gadis yang tepat untuk menerima cincin ini."
Alif berjalan
pelan ke arah meja yang tengah disinggahi oleh Aisha. Helena mengikutinya dari
belakang. Sesampainya di hadapan Aisha, Alif duduk di kursi yang ada di hadapan
Aisha, dan Helena duduk tepat di sebelah Aisha. Mata Aisha yang teduh dibalik
hijabnya menambah kecantikannya beribu kali lipat.
"Cincin ini
untuk kamu Aisha..." ucap Alif pelan. Ada perasaan tak sabar Alif yang
ingin segera melingkarkan cincin indah tersebut ke jari Aisha, namun tertahan
oleh ekspresi wajah Aisha yang tak tertebak.
Aisha tak
bergeming. Hanya terlihat permukaan bola matanya yang basah. Dan senyum kecil
di sudut bibirnya.
Helena, yang tahu
penuh akan semua isi hati Aisha, perlahan mengambil cincin tersebut dari tangan
Alif. Ia sangat tahu, Aisha hanya bersedia menyentuhkan tangannya kepada
muhrim-nya saja, hingga Helena yang mengambil inisiatif untuk menjemput jari
manis kiri Aisha dan memasang cincin pemberian Alif disana. Senyum Aisha
semakin mengembang.
"Alif,
makasih atas semuanya," Aisha sedikit malu-malu saat mengucapkannya.
"Aisha,
besok, tunggu kedatanganku di rumahmu. Juga kedua orang tuaku. Aku ingin segera
menghalalkan ikatan ini."
Dengan dibarengi
rasa keterkejutannya, Aisha merasa sangat bahagia mendengar ucapan Alif. Ia
langsung merangkul Helena sambil tersenyum lebar dibalik tetesan air mata
harunya. Dan Helena pun ikut merasakan kebahagiaan yang sama untuk sahabatnya
tersebut.
Siang itu menjadi
pemandangan yang indah, dua sahabat beda keyakinan namun tetap harmonis dan
saling menyayangi satu sama lain. Itulah hidup. Perbedaan akan membuatnya
menjadi semakin indah.
Bogor, 19 Mei
2013
17.00 WIB
Maaf kalo ada
kesalahan pengetikan.
Follow My
Twitter: @herdy126
Beberapa info ttg
cerpen berikutnya akan dikabari via twitter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar