Rabu, 12 Maret 2014

Cerpen : "DOA CINTA"



DOA CINTA

Jumat, pukul 12.45.
Sudah sekitar satu jam gadis itu duduk di pelataran salah satu mesjid menunggui sang pacar yang sedang melaksanakan ibadah sholat Jumat. Sendirian. Yang menemaninya sedari tadi hanyalah sebuah Al Kitab kecil di tangannya. Sesekali ia menyentuh kalung salib kecil yg melingkar di lehernya. Nama gadis itu adalah Helena.
Satu persatu para jemaah sudah mulai meninggalkan mesjid. Menyadari hal tersebut Helena pun menutup Al Kitab-nya secara perlahan dan memasukkannya ke dalam tas LV nya.
"Yuk!" tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki yang berjalan terpincang-pincang di tengah acara beres-beresnya. Helena mendongak. Itu suara Alif, orang yang ditungguinya.
"Udah selesai?" tanya Helena sambil bangkit dari duduknya. Alif menjawabnya dengan senyuman. Dan mereka pun berjalan beriringan meninggalkan rumah ibadah tersebut.
Hubungan itu baru terjadi sekitar satu bulan yang lalu. Ketika itu Helena adalah orang pertama yang menolong Alif dan membawanya ke rumah sakit ketika beberapa saat terjadi kecelakaan di depan halte dekat kantor mereka. Motor yang Alif kendarai diserempet sebuah truk kontainer tak bertanggung jawab yang melaju kencang. Akibatnya Alif terpental beberapa meter ke depan. Kepala dan kakinya membentur trotoar dengan cukup keras. Sejak saat itu Alif yang memang sudah lama mengetahui bahwa teman satu kantornya itu menaruh hati padanya, langsung menerima Helena menjadi pacarnya. Itu ia lakukan hanya karena ia merasa memiliki hutang budi yang teramat tinggi terhadap Helena. Ia merasa itulah cara yang paling tepat yang bisa ia lakukan.
"Kakinya masih sakit?" tanya Helena di tengah perjalanan mereka menuju kantor.
"Udah agak baikan sih. Paling dalam beberapa hari ke depan udah gak apa-apa," jawab Alif pelan.
"Oh iya, nanti sore jadi kontrol ke rumah sakit?"
"Iya."
"Aku anter ya?!"
"Ga usah. Aku tahu kamu masih banyak kerjaan, jadi gak perlu nganter segala. Aku bisa kok sendirian," tegas Alif.
"Oke, hati-hati ya!" senyum Helena terlihat sangat manis mengiringi kalimat terakhirnya.
***
Nama Alif dipanggil oleh kasir apotik yang sudah siap memberikan satu plastik kecil obat-obatan yang harus ditebus. Ia berharap ini adalah resep terakhir yang diberikan oleh sang dokter, mengingat ia yakin betul kondisi badannya sudah sangat fit dibanding beberapa minggu yang lalu. Hanya sebelah kakinya saja yang masih agak terpincang saat berjalan.
Nanti juga akan sembuh sendiri, batinnya.
Setelah membayar semuanya, Alif langsung bergegas untuk meninggalkan apotik, ia pun membalikkan badannya namun..
"Aduh!" ada suara refleks dari seorang gadis muda yang tertabrak tubuh Alif.
"Maaf! Aisha?" menyadari siapa yang telah ia tabrak, Alif pun langsung menyunggingkan senyumnya.
Aisha adalah teman Alif sewaktu SMA, pun satu SMA dengan Helena. Pakaian putih, jilbab putih, dan senyumnya yang ramah dengan jelas menegaskan bahwa Aisha adalah seorang suster yang sangat bersahabat.
"Kayaknya perkembangan penyembuhan kaki kamu cukup pesat ya?!" Aisha sambil melihat sejenak kaki kiri Alif.
"Ya seperti yang kamu lihat," sambut Alif.
"Kamu udah makan? Ke kantin yuk, aku yang traktir deh," ajak Aisha.
"Aku masih kenyang, tapi untuk sekedar minum, boleh deh!" Alif menerima tawaran Aisha.
***
Di kantin rumah sakit.
Aisha membawa dua botol minuman teh dalam kemasan dan memberikan satu kepada Alif yang sudah menunggu di salah satu kursi disana.
Tanpa terasa sudah hampir satu jam mereka mengobrol. Topik pembicaraan pun yang tadinya hanya sebatas topik umum jadi melebar kemana-mana. Hingga pada akhirnya entah kenapa tibalah pada satu pertanyaan yang keluar dari mulut Aisha.
"Hm, Al, kamu masih pacaran sama Helena?" tanya Aisha.
Alif mengangkat wajahnya yg sempat menunduk karena menyeruput teh-nya lewat sedotan. "Iya, masih."
"Kamu udah berpikir matang-matang?"
"Entah udah berapa kali aku denger pertanyaan yang sama Sha," jawab Alif pelan, "Dan sampe sekarang aku masih bingung. Helena itu baik. Dia yang udah nyelametin aku. Entah dengan cara apa lagi aku membalas kebaikannya kalo bukan dengan cara membalas perasaannya."
"Tapi..."
"Kita gak seiman? Iya?" Alif memotong ucapan Aisha. Sejenak ia menarik nafas panjang. "Kamu gak salah Sha, itu juga salah satu alasan kuat kenapa aku bingung."
Aisha menatap lembut mata Alif. Ia tak bisa mengeluarkan kata-kata. Ada raut kekecewaan yang tergambar di wajahnya.
"Kamu doain aja ya Sha, semoga kita berdua punya solusi yang terbaik buat hubungan ini."
Aisha tersenyum, manis. "Dari dulu doa aku gak pernah putus buat kamu Al."
***
Hari itu adalah kali pertama Helena datang ke rumah Alif. Ia disambut hangat oleh seluruh anggota keluarga Alif yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan kakak perempuannya. Memang, menurut pandangan para tetangga pun, keluarga H. Miftahuddin merupakan sebuah keluarga berada yang memiliki jiwa sederhana dan rendah hati.
Beberapa jam mengobrol akhirnya Helena menawarkan diri untuk membuatkan hidangan makan malam untuk keluarga Alif. Dan setelah semuanya selesai Helena pun langsung menghidangkannya di meja makan kecil tersebut.
"Kamu belajar masak dimana nak?" tanya ibunya Alif yang terlihat sangat menikmati hasil masakan Helena.
Sambil tersipu malu Helena menjawab pelan. "Saya diajarin sama Mama, Bu."
"Bumbunya itu lho, pas banget! Gak kurang gak lebih," tambah sang ayah sambil menuang sayur asem ke piringnya.
Helena makin tersipu.
Selesai makan, Helena langsung merapikan piring-piring kotor yang ada di meja. Ia bergegas membawanya ke dapur untuk kemudian dicucinya.
"Sudah, biarin aja. Nanti ibu yang cuci!" tegas ibunya Alif. Matanya melirik Alif yang berjalan pelan ke teras belakang.
"Gak apa-apa bu, saya udah biasa kok di rumah!"
"Oh gitu, makasih ya." jawab sang ibu. Ia pun menyusul Alif yang tengah berdiri di teras belakang sambil menatap malam.
Menyadari sang ibu datang, Alif pun langsung menyapanya. "Eh ibu.."
"Lif, kamu itu ketemu Helena dimana?"
"Kenapa bu?"
"Anaknya baik ya. Pinter masak pula." Ucap sang ibu. "Kamu memang pinter cari calon istri ya Lif."
"Ibu bisa aja.."
"Selain itu, Subhanallah wajahnya cantik banget Lif." lanjut sang ibu. Alif hanya bisa tersenyum. "Apalagi, kalau dia pake jilbab ya Lif."
Senyum Alif lenyap seketika. Kalimat pendek ibunya ternyata langsung menggetarkan dadanya. Ia terdiam. Tak mampu mengeluarkan kalimat penjawab bagi perkataan ibunya.
"Lif? Kamu kok diem? Kalo kalian menikah, kamu mau kan menjilbabkan Helena?"
Alif masih terdiam.
"Lif?"
Alif menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia mulai berbicara, pelan. "Helena... Dia bukan muslim Bu..."
Sang ibu terkejut. Keterkejutannya digambarkannya dengan menatap dalam-dalam ke mata Alif. Tak lama berselang, sang ibu mulai memutar badan secara perlahan dan melangkahkan kakinya menjauhi Alif. Alif yang melihatnya segera melakukan pencegahan.
"Bu..." panggil Alif berusaha menahan tangan ibunya.
Sang ibu tak menjawab. Ditepisnya tangan Alif. Dan melanjutkan langkahnya menuju kamarnya.
Alif galau. Ada perasaan miris melihat lunturnya senyum dari bibir ibunya dengan seketika. Dan itu membuat hatinya kecewa.
***
Di jam makan siang Alif menghampiri Helena di meja kantornya. Tanpa meminta persetujuan Helena, ia langsung menarik kursi milik teman kerja Helena yang saat itu sudah tidak berpenghuni. Ia memosisikan diri di depan meja kerja Helena.
"Ini.." tanpa banyak bicara, tiba-tiba Alif menyodorkan sebuah kotak kecil yang sudah terbuka berisi sebuah cincin.
Sedetik setelah mellihat benda yang Alif bawa, penglihatan Helena teralih pada laki-laki yang ada di hadapannya.
Helena menggeleng. Ia pun segera mendorong benda tersebut ke arah Alif.
"Kenapa?" tanya Alif penuh tanda tanya.
"Ternyata hubungan ini terlalu rumit Al.." jawab Helena pelan.
"Karena kita beda keyakinan?"
"Ini lebih rumit dari hanya sekedar hubungan beda keyakinan Al. Aku gak pantes buat dapetin ini."
"Aku gak ngerti," ucap Alif pelan. Keningnya berkerut.
"Sebentar lagi kamu akan ngerti juga, Al." Meski miris, Helena berusaha memberi kehangatan di setiap ucapannya.
"Kalo aku minta ingin dibuat mengerti sekarang?" Alif memelas. Namun tak ada respon apapun dari Helena.
"Kamu harus menelan kekecewaan, Al." jawab Helena sambil berlalu dari hadapan Alif dan meninggalkannya.
***
Sepulang kerja, Alif memasuki kamarnya. Tanpa disadari, Amaya, kakak perempuannya membuntutinya dari belakang. Ia langsung terduduk di sisi tempat tidur Alif.
"Puas kamu sekarang?" ucap Amaya. Meskipun pelan, namun dari intonasinya jelas tersirat kemarahan besar di dalamnya.
Alif sadar betul apa yang akan disinggung oleh Amaya. Meskipun demikian, ia tetap berpura-pura bertanya.
"Maksudnya?"
"Puas kamu bikin Umi kecewa? Apa sih Al, yang ada di pikiranmu itu?" 
"Aku tahu Mba aku salah. Aku juga tahu sudah seharusnya hubungan ini berakhir." Alif menghentikan ucapannya sebentar. "Tapi..."
Sejenak Amaya menatap dalam-dalam mata Alif. "Mba, kecewa ya kamu masih nambahin kata 'tapi'. Apa sih yang kamu cari? Katanya kamu mau nyari ridha Ilahi. Katanya kamu mau nyari kebahagiaan dunia akhirat. Salah satu untuk menuju kesana itu adalah dengan menjadi imam keluarga dari istri dan anak-anak soleh solehah Al. Salah satu untuk menuju kesana itu dengan membahagiakan Umi, Al. Ridha Ilahi itu ridhanya Umi." Amaya menceramahi Alif, sekaligus mengingatkan Alif akan ucapan-ucapan Alif di masa lalu.
Alif terdiam. Tak sedikitpun ucapan Amaya yang terbantahkan. Nalurinya mau tak mau harus mengakui itu.
Amaya berdiri dan berjalan pelan menginggalkan Alif sendirian. Di depan pintu kamar Alif, ia menghentikan langkahnya dan berbalik arah.
"Buktiin kalo kamu adalah anak Umi yang otaknya paling berisi!" tegas Amaya yang lalu menghilang dari hadapan Alif.
***
Pukul 20.00. Selepas shalat Isya, Alif berjalan pelan menuju ruang keluarga. Di tempat tersebut, ia biasa meluangkan waktunya bersama kedua orang tua dan kakak perempuannya. Dan sekarang ia baru menyadari, terakhir ia bergabung bersama mereka di jam-jam santai seperti ini adalah seminggu yang lalu. Ada perasaan kangen terhadap suasana tersebut.
Sambil menarik nafas panjang, Alif yg sudah memposisikan diri di hadapan mereka, mulai membuka suara.
"Abi, Umi, Mba Amaya, Alif mau bicara..."
***
Sabtu siang, di bawah cahaya matahari yang redup, Alif berjalan cepat setelah memarkir motornya sembarangan. Ia memasuki bangunan yang didominasi dengan warna putih itu dengan terburu-buru. Suara ketukan sepatu dari setiap langkah yang ia ciptakan terdengar jelas di lantai keramik putih di sepanjang lorong yang hening. Hanya ada beberapa orang saja yang lewat. Setelah melakukan perjalanan singkatnya, akhirnya Alif tiba di tempat tujuannya sambil terengah-engah, kantin rumah sakit.
"Aku udah tahu jawabannya!" katanya tiba-tiba. Ia langsung mengeluarkan kalimat itu ketika mendapati Helena dan Aisha sudah duduk di bangku kantin dan memerhatikan Alif dengan seksama.
"Tahu apa?" tanya Helena.
"Tahu kenapa kamu nolak cincin pemberianku." ucap Alif pelan.
Helena berdiri, lalu berjalan ke arah Alif. Aisha memerhatikan dari belakang.
"Jauh di atas ekspetasiku, kalo kamu bakal tahu secepat ini Al. Kamu terlalu pintar untuk berlama-lama nggak tahu." Helena menyunggingkan senyum kecilnya. Alif memelankan suaranya. "Kamu ngelakuin semua ini demi Aisha kan?"
Helena menoleh sedikit ke arah Aisha. Ia tersenyum dan kembali memalingkan wajahnya kepada Alif. "Demi sahabatku tercinta. Sahabatku yang ternyata selalu mencintai kamu lebih dari aku."
"Kamu memang orang pertama yang nolong aku saat kecelakaan..."
"Tapi Aisha yang merawat kamu dengan sepenuh hati. Gak ada suster 24 jam tanpa bayaran yang sabar ngajak ngobrol kamu meski dalam keadaan koma, yang selalu melantunkan doa di setiap tetesan air matanya di hadapan kamu." jelas Helena.
"Kamu memang tahu semua yang aku suka..."
"Tapi Aisha yang kasih tahu itu semua sama aku. Tentang kebiasaan kamu, tempat yang sering kamu datangi, bahkan makanan apa yang kamu suka dan gak kamu suka. Aisha kasih tahu aku akan semua itu. Dia juga kasih tahu apa yang harus aku hindari, yang mungkin akan buat kamu nggak suka."
"Kamulah pacarku sekarang..."
"Tapi Aisha-lah calon istrimu kelak. Istri dan ibu dari anak-anakmu kelak. Seorang wanita sholehah yang hatinya seperti malaikat. Yang membuatku ingin terus banyak belajar darinya. Aku gak pernah mau menyakiti hati seorang wanita selembut Aisha, Al."
"Karena itu aku kemari. Mempertemukan kalian untuk kemudian memutuskan..." Alif mengeluarkan kotak cincin yang dulu sempat ia tawarkan kepada Helena. Lalu mengeluarkan cincin tersebut dan menjepitnya dengan telunjuk dan ibu jarinya. "Memutuskan siapa gadis yang tepat untuk menerima cincin ini."
Alif berjalan pelan ke arah meja yang tengah disinggahi oleh Aisha. Helena mengikutinya dari belakang. Sesampainya di hadapan Aisha, Alif duduk di kursi yang ada di hadapan Aisha, dan Helena duduk tepat di sebelah Aisha. Mata Aisha yang teduh dibalik hijabnya menambah kecantikannya beribu kali lipat.
"Cincin ini untuk kamu Aisha..." ucap Alif pelan. Ada perasaan tak sabar Alif yang ingin segera melingkarkan cincin indah tersebut ke jari Aisha, namun tertahan oleh ekspresi wajah Aisha yang tak tertebak.
Aisha tak bergeming. Hanya terlihat permukaan bola matanya yang basah. Dan senyum kecil di sudut bibirnya.
Helena, yang tahu penuh akan semua isi hati Aisha, perlahan mengambil cincin tersebut dari tangan Alif. Ia sangat tahu, Aisha hanya bersedia menyentuhkan tangannya kepada muhrim-nya saja, hingga Helena yang mengambil inisiatif untuk menjemput jari manis kiri Aisha dan memasang cincin pemberian Alif disana. Senyum Aisha semakin mengembang.
"Alif, makasih atas semuanya," Aisha sedikit malu-malu saat mengucapkannya.
"Aisha, besok, tunggu kedatanganku di rumahmu. Juga kedua orang tuaku. Aku ingin segera menghalalkan ikatan ini."
Dengan dibarengi rasa keterkejutannya, Aisha merasa sangat bahagia mendengar ucapan Alif. Ia langsung merangkul Helena sambil tersenyum lebar dibalik tetesan air mata harunya. Dan Helena pun ikut merasakan kebahagiaan yang sama untuk sahabatnya tersebut.
Siang itu menjadi pemandangan yang indah, dua sahabat beda keyakinan namun tetap harmonis dan saling menyayangi satu sama lain. Itulah hidup. Perbedaan akan membuatnya menjadi semakin indah.

Bogor, 19 Mei 2013
17.00 WIB

Maaf kalo ada kesalahan pengetikan.
Follow My Twitter: @herdy126
Beberapa info ttg cerpen berikutnya akan dikabari via twitter.























Tidak ada komentar:

Posting Komentar