Beda 27 Tahun
Aku mendandani
diri secantik mungkin di hari yang aku anggap istimewa ini. Tujuanku jelas
beralasan, hari ini kekasihku berencana menemui ibu untuk segera
melamarku.
Aku sangat
bahagia sekali menyambut hari ini. Entah sudah berapa banyak waktu berdandan
yang tersita hanya karena terhenti oleh pekerjaanku yang lain; melamun sambil
tersenyum-senyum sendiri. Saat tubuh ini terkesiap, barulah aku kembali
melanjutkan acara mempercantik diri ini. Begitulah seterusnya dan berulang-ulang.
Beberapa hari sebelumnya
aku memang sudah membicarakan rencana kedatangan kekasihku ini kepada ibu.
Sejauh yang aku rasakan, ibu merespon positif. Ibu memang belum pernah bertemu
dengan Mas Heru, kekasihku, namun ia selalu mempercayai kebaikan-kebaikan Mas
Heru dari cerita-cerita yang sering aku utarakan. Dan memang itulah yang aku
rasakan, Mas Heru memang baik, dan juga dewasa. Terlebih karena memang Mas Heru
memiliki usia yang jauh berada di atas usiaku. Perbedaan usia kami 27 tahun.
Sayangnya,
kebahagiaan yang aku rasakan ini kurang lengkap tanpa kehadiran ayah. Tak
pernah sekalipun aku ingat kapan terakhir kali tubuh ini
dibelai oleh tangan seorang ayah. Yang aku tahu hanyalah, cerita ibu mengenai mengenai
sosok ayah yang sudah pergi jauh meninggalkan kami di usiaku yang baru 6 bulan.
Sosok yang mungkin sudah tenang di alam sana. Namun satu yang aku yakini,
seandainya pun ia masih ada, ia akan bersikap liberal dan menyerahkan semuanya kepadaku
dalam menentukan pilihan, sama dengan ibu.
Aku menghentikan
pekerjaanku menyisir rambut manakala aku mendengar suara mesin mobil menderu yang
bersumber dari halaman rumah. Tanpa menunggu lama, aku langsung meletakkan
sisir yang kupegang dan kemudian berjalan cepat ke arah jendela kamar. Dan benar
saja, itu mobil Mas Heru, seperti dugaanku.
Dengan sigap,
aku berlari menuju pintu dan bergegas keluar kamar untuk memberi tahu kabar gembira
ini kepada ibu. Saat tiba diluar kamar, pandanganku tersebar ke segala penjuru ruangan
demi mencari sosok ibu, yang akhirnya aku temui di dapur.
“Bu,
Mas Heru datang!” seruku dengan penuh antusias.
Ibu tersenyum.
Meski geraknya sudah tak segesitku, namun aku tahu ibu juga merasakan kebahagiaan
yang sama denganku. Ia membersihkan tangannya dari cercahan sayuran yang
menempel dengan lap yang ada di hadapannya. Dan kemudian mengikutiku dari
belakang.
Kami berjalan
beriringan menuju ruang tamu untuk segera membukakan pintu kepada tamu
kehormatan kami hari ini. Inilah saatnya, pintu yang berderit cukup keras itu
aku tarik hingga pada akhirnya terpampang jelaslah sosok yang selama ini telah
mengisi hari-hariku dengan kebahagiaan.
“Bu,
ini Mas Heru,” kataku dengan suara pelan. Satu senyuman sengaja aku buat untuk
mencairkan suasana. Namun senyumanku sedikit demi sedikit luntur dan berganti
dengan tanda tanya besar ketika aku tak menemukan sebentuk senyum di wajah ibu.
Ia malah menampilkan wajah kagetnya saat menatap wajah Mas Heru.
Ibu menggeleng
pelan.
“Bu,
kenapa?” tanyaku sambil bergantian memandang ke arah keduanya.
Ibu masih menggeleng. “Dia...ayahmu nak...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar