Minggu, 09 Maret 2014

Short Story : "BEDA 27 TAHUN"



Beda 27 Tahun

Aku mendandani diri secantik mungkin di hari yang aku anggap istimewa ini. Tujuanku jelas beralasan, hari ini kekasihku berencana menemui ibu untuk segera melamarku.
Aku sangat bahagia sekali menyambut hari ini. Entah sudah berapa banyak waktu berdandan yang tersita hanya karena terhenti oleh pekerjaanku yang lain; melamun sambil tersenyum-senyum sendiri. Saat tubuh ini terkesiap, barulah aku kembali melanjutkan acara mempercantik diri ini. Begitulah seterusnya dan berulang-ulang.
Beberapa hari sebelumnya aku memang sudah membicarakan rencana kedatangan kekasihku ini kepada ibu. Sejauh yang aku rasakan, ibu merespon positif. Ibu memang belum pernah bertemu dengan Mas Heru, kekasihku, namun ia selalu mempercayai kebaikan-kebaikan Mas Heru dari cerita-cerita yang sering aku utarakan. Dan memang itulah yang aku rasakan, Mas Heru memang baik, dan juga dewasa. Terlebih karena memang Mas Heru memiliki usia yang jauh berada di atas usiaku. Perbedaan usia kami 27 tahun.
Sayangnya, kebahagiaan yang aku rasakan ini kurang lengkap tanpa kehadiran ayah. Tak pernah sekalipun aku ingat kapan terakhir kali tubuh ini dibelai oleh tangan seorang ayah. Yang aku tahu hanyalah, cerita ibu mengenai mengenai sosok ayah yang sudah pergi jauh meninggalkan kami di usiaku yang baru 6 bulan. Sosok yang mungkin sudah tenang di alam sana. Namun satu yang aku yakini, seandainya pun ia masih ada, ia akan bersikap liberal dan menyerahkan semuanya kepadaku dalam menentukan pilihan, sama dengan ibu.
Aku menghentikan pekerjaanku menyisir rambut manakala aku mendengar suara mesin mobil menderu yang bersumber dari halaman rumah. Tanpa menunggu lama, aku langsung meletakkan sisir yang kupegang dan kemudian berjalan cepat ke arah jendela kamar. Dan benar saja, itu mobil Mas Heru, seperti dugaanku.
Dengan sigap, aku berlari menuju pintu dan bergegas keluar kamar untuk memberi tahu kabar gembira ini kepada ibu. Saat tiba diluar kamar, pandanganku tersebar ke segala penjuru ruangan demi mencari sosok ibu, yang akhirnya aku temui di dapur.
“Bu, Mas Heru datang!” seruku dengan penuh antusias.
Ibu tersenyum. Meski geraknya sudah tak segesitku, namun aku tahu ibu juga merasakan kebahagiaan yang sama denganku. Ia membersihkan tangannya dari cercahan sayuran yang menempel dengan lap yang ada di hadapannya. Dan kemudian mengikutiku dari belakang.
Kami berjalan beriringan menuju ruang tamu untuk segera membukakan pintu kepada tamu kehormatan kami hari ini. Inilah saatnya, pintu yang berderit cukup keras itu aku tarik hingga pada akhirnya terpampang jelaslah sosok yang selama ini telah mengisi hari-hariku dengan kebahagiaan.
“Bu, ini Mas Heru,” kataku dengan suara pelan. Satu senyuman sengaja aku buat untuk mencairkan suasana. Namun senyumanku sedikit demi sedikit luntur dan berganti dengan tanda tanya besar ketika aku tak menemukan sebentuk senyum di wajah ibu. Ia malah menampilkan wajah kagetnya saat menatap wajah Mas Heru.
Ibu menggeleng pelan.
“Bu, kenapa?” tanyaku sambil bergantian memandang ke arah keduanya.
Ibu masih menggeleng. “Dia...ayahmu nak...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar